A. Latar Belakang
Seringkali orang bertanya, kenapakah Agama dibawah ke dalam politik, hokum, demokrasi? Atau sebaliknya, kenapakah politik, hokum, demokrasi dibawah kedalam agama? Pertanyaan ini timbul kerena seringkali orang mengartikan bahwa yang dinamakan agama itu, hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama Islam itu sendiri, yang hakikatnya nyata adalah lebih dari itu. Islam tujuannya adalah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, Ketatanegaraan, pemerintah dan Perundang-undangan dan orang diberikan kemerdekaan dan mengemukakan pendirian dan suaranya dengan musyawarah bersama. Banyak pengamat melihat hubungan umat Islam dan pemerintah belakangan ini merasa tersingkirkan atau disingkirkan dari caturan politik, kini umat sebagai komunitas politik mulai mendapat akses untuk lebih banyak berperan dalam menentukan arah perjalanan Bangsa. Kiprah ICMI, kumpulan para cendikiawan muslim yang antara lain disebut sebagai manifestasi riil dari era baru bagi umat Islam.kelompok ini juga semakin leluasa untuk bergerak, baik demi kepentingan keagamaaan maupun untuk kepentingan pengembangan sumberdaya sosial ekonomi
B. Rumusan Masalah
a. Apakah faktor-faktor utama dari demokrasi itu?
b. Bagaimanakah seharusnya konsep demokrasi di Indonesia?
c. Bagaimanakah pemikiran umat islam tentang demokrasi?
d. Bagaimanakah demokrasi dalam pandangan islam?
e. Bagaimana pendapat Tokoh-tokoh politik tentang demokrasi?
C. Pendekatan yang Digunakan.
a. Studi Pendekatan Al-Qur’an Konsep musyawarah diterapkan Dalam Surat Ali Imran : 159 seperti dibawah ini : Fabimaa rahmatin minallahi linta lahum walaw kunta fazha qhalizhal kalbii laanfaddu minhaulika fa’fuanhum wastaghfiirlahum wasyaawirhum fiilamri faidza ‘azamtu fatawakkal ‘alallahi innallaha yuhibbul mutawakkilin . Artinya “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikapkeras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan ‘Bermusyawaralah’ dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertrakwalah kepada Allah. Sesunggunhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya .
b. Studi Pendekatan Sejarah Secara historis, Nabi Muhammad SAW selalu mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat dalam berbagai permasalahan baik itu dalam masalah pemerintahan, dan Nabi Muhammad SAW juga bermusyawarah dalam urusan keluarga.
D. Pembahasan Konsep Musyawarah atau Syura dapat berfungsi sebagai pagar pencegah munculnya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, diktatorisme, despotisme dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Menyikapi demokrasi didasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktik Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin, Mereka mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi Liberal atau Demokrasi Sosialis tanpa alasan, atau menerima konsep demokrasi dengan catatan masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan. Dengan kata lain, menerima demokrasi, tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
1. Faktor-faktor Utama Demokrasi
a. Format Politik Menjadi tugas kita semua lapisan masyarakat, juga para cendikiawan dan generasi muda, dikembangkannya format politik yang lebih demokratis dan aspiratif, sehingga wujud Demokrasi Pancasila yang kita inginkan makin terasa dan nyata. Pengertian format politik pada dasarnya bersifat instrumentatif dan karenanya memerlukan perbaikan dan penyempurnaan terus menerus. Sesuai dengan tekad Orde Baru yang selalu berupaya melakukan perbaikan dan penyempurnaan, maka sewajarnyalah format politik kita kembangkan sesuai dengan aspirasi nyata rakyat. Revisi terhadap format politik yang ada, tetap senantiasa mengacu pada pancasila dan UUD 1945, sehingga format politik yang bersifat Instrumental tersebut senantiasa tetap berada dalam bingkai nilai-nilai fundamental.
b. Persamaan dan Kebersamaan Konstruksi format politik yang selama ini dikembangkan masih bertumpuh pada tatanan politik Tradisional, yang memberi perlakuan khusus bagi terciptanya dan terpeliharanya sebuah format politik sebagai refleksi kecemasan masa lalu, dan keinginan pemerintahan yang stabil dengan topang terpeliharanya “single majority” yakni memperkokoh perlakuan khusus Secara protektif di satu pihak, sedang di pihak lain digelarkan serangkaian rambu, pagar-pagar pengaman untuk tidak berkembang. Perlakuan semacam itu sudah saatnya ditinggalkan bila kita ingin memberi makna kualitatif bagi wujud Demokrasi Pancasila, yang mengutamakan “Persamaan dan Kebersamaan” dan menolak prilaku diskriminatif.
c. Keterbukaan Keterbukaan dalam menampilkan puncak pemikiran-pemikiran alternatif yang terbaik dalam bidang politik akan memperkaya khazanah kehidupan politik rakyat, yakni keterbukaan yang sarat dengan semangat kekeluargaan, kebersamaan, yang memiliki antisipasi wawasan kedepan. Keterbukaan yang mampu menerima pemikiran-pemikiran yang terbaik, tanpa dibayangi sikap orogansi atau keangkuhan golongan.
d Sistem Politik Pluralistik dan Infrastruktur Politik Kita harus mengembangkan sistem politik pluralistik yang dinamis dan mandiri, yang tidak status QUO. Tiap organisasi kekuatan sosial politik dibiarkan berkembang secara mandiri, bebas dari payung politik protektif. Biarkan mereka berkembang menurut potensi, kapabilitas, ekseptabilitas serta dukungan nyata, dinamis, terbuka, tanpa kemestian adanya single majority. Melalui alur Infrastruktur politik terjadi rekruitmen, resperensi dan nominasi para pelaku dilingkungan supra-struktur politik. Oleh karena itu, kualitas, integritas, efektivitas infrastruktur politik perlu terus dijaga dan dipelihara agar mampu memberi imbas/resonasi positif pada strata supra-struktur.
e. Clean Goverment dan Negara Kekeluargaan Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, harus benar-benar mengabdi bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, bukan abdi golongan. Menempatkan aparat birokrasi dibawah manajemen dan kendali kekuatan sosial politik tertentu akan menimbulkan dampak negatif bagi akurasi sistem pengawasan nasional, serta berkembangnya inefisiensi dan pemborosan. Aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa memerlukan tegaknya disiplin dengan membebaskan diri dari prilaku ‘Flantropis’ kekuatan sosial politik pengendali, yang Secara administratif dan konsitusional diluar acuannya.
f. Budaya Politik Emansipatif, Partisipatif dan Terbuka Upaya membangun budaya politik Emansipatif, Partisipatif dan Keterbukaan belum sepenuhnya terwujud. Budaya politik emansipatif diperlukan bagi berkembangnya iklim yang segar dimana seluruh lapisan masyrakat menikmati perlakuan yang sama sederajat dan adil dalam kedudukannya sebagai warga negara
2. Konsep Demokrasi di Indonesia Konsep demokrasi di Indonesia seharusnya berdasarkan konsep Musyawarah sebab konsep Musyawarah atau Syura dapat berfungsi sebagai pagar pencegah munculnya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, diktatorisme, despotisme dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Partisipasi rakyat di hormati, karena mereka pada hakikatnya adalah pemilik Negara. Mereka seolah-olah menerima mandat dan amanat dari Tuhan, sementara pemimpn hanyalah pelayan Rakyat. Musyawarah atau Syura dan mekanisme pengambilan keputusan melalui konsensus dan dalam hal-hal tertentu bila tidak tercapai suatu konsensus bisa di lakukan dengan voting, merupakan salah satu manifestasi dan refleksi dari tegaknya prinsip kedaulatan rakyat. Meskipun Secara factual musyawarah dilakukan oleh suatu kelompok terbatas, hal ini dalam sistem demokrasi tetap di anggap legitimate dan bahkan rasional. Karena Secara factual pula tidak mungkin melibatkan musyawarah terbuka dan mengambil keputusan yang berdaya jangkau Nasional.
3. Pemikiran Umat Islam tentang Demokrasi Secara teologis para intelektual muslim Indonesia, menyikapi demokrasi didasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktik Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin, Mereka mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi Liberal atau Demokrasi Sosialis tanpa alasan, atau menerima konsep demokrasi dengan catatan masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan. Dengan kata lain, menerima demokrasi, tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat.
4. Demokrasi dalam Pandangan Islam. musyawarah adalah demokrasi yang sesuai dengan ajaran islam baik konsep maupun praktik walaupun tidak harus menyebutnya “demokrasi islam” dan apabila dikaji Secara mendalam pada diskursus pemikiran teologis maka kedaulatan adalah di tangan Tuhan atau “kedaulatan Tuhan” (akan tetapi kalau di kaji berdasar wacana diskursus pemikiran politik, hal ini cenderung pada paham teokrasi atau teo-demokrasi; lawan dari demokrasi) sedangkan demokrasi, suatu doktrin atau system politik sekuler yang kedaulatannya berada di tangan rakyat atau “kedaulatan rakyat” yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people) Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia, merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu menyatukan cita-ideal manusia sejagad, karena wacana demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama dan kebudyaan. Kekuatan wacana demokrasi sesunguhnya bukan hanya terletak pada kemampuannya untuk melintasi batas geografis dan primordial di atas, tetapi juga karena telah di terimanya sistem ini Secara luas, baik pada level infrastruktur Negara. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas tatapi juga mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan keadilan, kebebasan, pluralisme, walaupun konsep-konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya Negara tertentu.
5. Pendapat Tokoh-tokoh Politik tentang Demokrasi 1. Amien Rais Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an (Ali Imran 3:159 dan As-Syura 42:3 8) tentang Musyawarah atau Syura, Amien Rais dengan tegas menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan prinsip dasar penolakan terhadap Elitisme. Menurut Amin, mungkin benar mereka yang mengatakan bahwa musyawarah atau syura dapat di sebut demokrasi, tetapi Amin Secara sengaja berusaha mengelak untuk tidak menggunakan istilah demokrasi dalam konteks sistem politik Islam. Karena menurutnya, istilah demokrasi saat ini menjadi konsep yang di salah pahami, dalam pengertian bahwa beberapa negara, yang banyak atau sedikit anti-demokrasi, dapat menyebut sistem mereka demokratis.Tetapi hanya mengemukakan bahwa istilah demokrasi dewasa ini telah di salah pahami sesuai dengan kepentingan politik rezim tertentu. Amin mengemukakan tiga alasan dalam penerimaannya terhadap demokrasi :
1. Secara konsep dasar, al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka
2. Secara historis, Nabi mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat
3. Secara Rasional, umat islam di perintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka, Itu menunjukkan bahwa sistem politik yang demokratis adalah bentuk tertinggi mengenai sistem politik dalam sejarah umat manusia Sebagai realisasinya, kemudian di buat lembaga perwakilan rakyat ( Parlemen) yang anggota-anggotanya dipilih oleh semua warga Negara Secara bebas, langsung, jujur dan adil. Institusi perwakilan rakyat inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan politik yang disesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat pada kurun waktu terbatas dan tertentu.
2. Abdurahman Wahid Abdurahman wahid menegaskan bahwa demokrasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi bukan saja demokrasi sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal tidak Ekspoloitatif, tetapi demokrasi sangat mendukung tegaknya pluralisme bangsa. Dalam demokrasi, pluralisme tidak semata-mata sebagai suatu yang human, tetapi juga karunia Allah yang bersifat permanen (Sunnatullah) karena tanpa pluralisme sejarah dan peradaban manusia akan tidak produktif, bahkan kehilangan perspektifnya yang bersifat dinamis dan dialektis. Abdurahman Wahid mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam dan implementasi islam sebagai etika sosial dalam kehidupan Negara pluralistik mengandung implikasi bahwa dalam konteks Demokrasi Islam “tidak” di tempatkan sebagai ideology alternatif seperti memposisikan “Syari’ah” dalam posisi berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi islam terhadap demokrasi bisa di capai bila dari ajaran islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah (Syura” kebebasan dan rule of law, karena islam dalam satu aspeknya merupakan agama hukum)
3. Nurcholis Madjid Nurcholis Madjid mengemukakan pandangannya bahwa nilai-nilai islam dan nilali-nilai demokrasi adalah bertentangan dari sumber (Ajaran v.s Paham Barat) tetapi ia melihat kesesuaian antara islam (musyawarah) dan demokrasi. Untuk persoalan-persoalan yang rinci dan praktis, manusia di beri kebebasan melakukan ijtihad. Dalam mekanisme sosial politik, ijtihad menghasilkan demokrasi yang tentu saja dirangkum dari diskusi-diskusi dan argument-argumen. Karena keterbatasan-keterbatasan manusia, ijtihad harus dilakukan Secara kolektif dan demokratis, khususnya dalam persoalan-persoalan yang menyangkut urusan publik, dan memohon kepada Tuhan untuk membimbing hamba-Nya “kejalan yang lurus” Maka menurut pemikiran Tokoh-tokoh ini mereka menerima dan bahkan mendukung demokrasi dalam pengertian tataran realisme politik, karena penerimaan mereka semata-mata dalam pengertian praktis kontemporer. Namun dalam pengertian filosofis, mereka masih mengakui supremasi perintah Tuhan (syari’ah) sebagai standar dasar yang dianggap dan diyakini sebagai sumber kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
E. Referensi Abdurahman Wahid. dan Amien Rais. 1996. Islam Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Hasbih, Artani, 2001 Musyawarah dan Demokrasi Jakarta Selatan : Gaya Media Pratama Saefuddin, Am, 1996 Ijtihad Politik oleh Cendikiawan Muslim Jakarta: Gema Insani Press Sunarso dkk 2004 pendidikan kewarganegaraan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar