Rabu, 27 Agustus 2008

Riba dan Permasalahannya

A. Definisi Riba

Riba secara bahasa bermakna : ziyadah, (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam penjelasan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 29;

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

(Q.S. An Nisa:29) Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an Menjelaskan : “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi penggnati atau penyeimbang yang dibenarkan syariah’; Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomissuatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, setelah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima sipeminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa adanya faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan bisa saja rugi.

Pengertian senada disampaikan juga oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqhiyah. Diantaranya:

1. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Sahih Bukhari.

2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi

3. Raghib Al Asfahani

4. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’I

5. Qatadah

6. Zaid Bin Aslam

7. Mujahid

8. Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah

9. Imam Ahmad Bin Hambal. Pendiri mazhab Hambali.

B. Jenis-jenis Riba. Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama dibagi lagi menjadi riba qardh dan riba Jahiliyah, sedangkan kelompok kedua terdiri dari riba fadhl dan riba nasi’ah.

1. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqhtaridh)

2. Riba Jahiliyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena sipeminjam tidak mampu mebayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

3. Riba Fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukatkan itu termasuk barang ribawi.

4. Riba Nasi’ah. Penagguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

C. Jenis Barang Ribawi Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dalam kitab-kitab mereka, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain.

2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Implikasi adanya barang ribawi terhadap perbankan syariah adalah sebagai berikut:

1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus di serahterimakan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 100.000,- dengan Rp. 100.000,- dan diserahkan ketika tukar menukar.

2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang yang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp. 10.000 dengan 1 dollar Amerika.

3. Jual beli barang ribawi dengan bukan barang ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak atau kertas) dengan pakaian.

4. Jual beli antara barang-barang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

D. Konsep Riba dalam perspektif Non-Muslim Riba bukan hanya persoalan masyarakat muslim, tetapi juga kalangan diluar muslim pun memandang serius perihal riba ini. Kajian tentang riba dapat dirunut hingga lebih dari 2000 tahun silam.

1. Konsep Bunga dikalangan yahudi Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekan mengambil bunga, menurut kitab suci mereka, baik dalam Old Statement (perjanjian lama) maupun undang-undang Talmud, seperti Kitab exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan” “ Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebenkan bunga terhadapnya” Kitab Deutoronemy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan : “Janganlah engkau mebungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau papaun yang dapat dibungakan” Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: “ Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu, janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah engkau berikan dengan meminta riba”

2. Konsep Bunga dikalangan Yunani dan Romawi Pada masa Yunani, sekitar abad IV sebelum masehi hingga I masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannnya. Seperti contoh dalam table berikut: Pinjaman biasa Pinjaman Properti Pinjaman antar kota Pinjaman Perdagangan Industri 6% - 18% 6% - 12% 7% - 12% 12% - 18% Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum masehi hingga IV masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat “maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable). Pda masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada jaman Romawi, seperti berikut: Bunga Maksimal dibenarkan Bunga Pinjaman biasa di Roma Bunga untuk Wilayah (daerah taklukan Roma) Bunga Khusus Byzantium 8-12 % 4 – 12 % 6 – 100% 4 – 12% Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat terkemuka Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktek bunga, begitu pula dengan Cato ( 234 –149 SM) dan Cicero ( 106 – 43 SM).

Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga. Plato mengecam sistim bungan berdasarkan dua alasan:

a. Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.

b. Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan alasan engatakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange, dan bukan sebagai alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga mendefinisikan bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaanya dari sesuatu yang belum pasti terjadi, dengan demikian pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil. Sedangkan Cicero memberi nasehat kepada anaknya untuk menghindari dua pekerjaan yaitu: memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Sedangkan Ceto memberikan ilustrasi perbedaan perniagaan dengan memberi pinjaman sebagai berikut:

a. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko, sedangkan memberi pinjaman dengan memberi pinjaman adalah sesuatu yang tidak pantas.

b. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Singkatnya para ahli filsafat memandang keji praktek bunga demikian pula pandangan masyarakat umum pada saat itu

3. Konsep Bunga di kalangan Kristen Kitab perjanjian baru tidak membahas masalah bunga secara jelas, namun sebagian kalangan kristiani menganggap ayat Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan: “ Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meinjamkan kepada orang berdosa., supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada merekan dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yanh Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”. Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan penafsiran dari para pemuka Kristen tentang boleh tidaknya orang Kristen mempraktekan bunga. Berbagai pandangan kalangan pemuka Kristen diogolongkan kedalam tiga kelompo, yaitu:

1. Pandangan para pendeta Awal Kristen (Abad I - XII) Pada masa ini umumnya pengambilan bunga dilarang, karena masih mengimani Kitab perjanjian Lama,

a. Si. Basuil (329-379). Menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan. Mengambil bunga adalah ; mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.

b. St. Gregory dari Nyssa (333 – 395).Mengutuk praktek bunga karena , menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada saat membuat kontrak seperti membantu tapi pada saat menagih bertindak kejam.

c. St. John Chrysostom (344 –407). Larangan praktek riba bagi Kaum Yahudi juga berlaku bagi kaum Kristiani.

d. Demikian pula pendapat yang sama dari St.Ambrose, St. Agustine dan St. Anselm dari Centembury (1033-1109) Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh Gereja melaui Undang-Undang (Canon).

a. Council of Elvira ( Spanyol tahun 306), mengeluarkan Canon 20 yang melarang praktek bungan bagi para pekerja gereja, barang siapa yang melanggar maka pangkatnya akan diturunkan.

b. Council of Arles (tahun 314) Mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang praktek bungan bagi para pekerja gereja

c. First Council of Nicaea (tahun 325) Mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat pekerja gereja yang mempraktekan bunga.

d. Larangan mempraktekan bunga untuk umum dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311), dengan sangsi telah berbuat dosa dan keluar dari kristiani.

2. Pandangan para sarjana Kristen (Abad XII - XVI) Pada masa ini perekonomian telah berkembang pesat, transaksi secara kredit dan pemberian modal kerja telah biasa dilakukan. Para sarjana tidak hanya membahas masalah bunga dari sisi moral semata namun juga merujuk pada perjanjian lama maupun perjanjian baru. Mereka melakukan banyak terobosan dalam pendefiniasian bunga, hasilnya adalah memperhalus dan melegitimasi hukum. Bunga dibedakan menjadi usury dan interest. Menurut mereka interest adalah bunga yang dibolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para sarjana yang berperan adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), Sain Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan dari pendapat para sarjana tersebut adalah:

a. Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.

b. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehka, namun haram dan tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

3. Pandangan para Reformis Kristen (Abad XVI – tahun 1836). Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain Jihn calvin (1509 –1564), Charles Du Moulin (1500-1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560) dan Zwingli (1484-1531). Calvin berpendapat :

a. Dosa apabila bunga memberatkan

b. Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles)

c. Tidak menjadikan mengambil uang sebagai profesi.

d. Jangan mengambil uang dari orang miskin. Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asal diguinakan untuk kepentingan produkstif. Saumise (pengikut Calvin), membenarkan semua pengambilan bunga termasuk kepada kaum miskin. Menurutnya menjual uang denga uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang dalam menggunakan uanganya untuk membuat uanag. Agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan uang.

E. Larangan Riba dalam Al Quran dan As Sunnah Ummat Islam melarang Riba apa pun jenisnya. Laranga tersebut bersumber pada Al Qur’an dan as Sunnah :

1. Larangan Riba dalam Al Qur’an.

2. Larangan Riba dalam Hadits F. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba. Meskipun sudah jelas Al Qur’an maupun as Sunnah yang secara tegas menyatakan keharaman Riba, namun masih saja ada beberapa cendikiawan yang mencoba pembenaran atas pengambilan bunga uang, Diantaranya alasan :

1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya. Alasan darurat haruslah melalui pertimbangan yang komprehensif seperti yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, dan bukan istilah darurat menurut pengertian sehari-hari: Menurut Imam Suyuti, darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan suatu tindakan dengan cepat, makan akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian. Menurut literature klasik, keadaan emergency, dicontohkan seperti orang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi, yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua alasan:

“(173) Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (q.s. Al Baqarah:173) Sesuai ayat tersebut, para ulama merumuskan kaidah:

2. “darurat itu harus dibatasi kadarnya”. Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta batasan ukuran dan kadarnya. Misalnya jika dihutan tersebut ada sapi atau ayam maka darurat keharaman daging babi menjadi hilang, demikian pula dibolehkannya daging babi karena darurat, ketika memakannya tidak berlebihan.

3. hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan. Pendapat bahwa riba hanya jika berlipatganda dan memberatkan, terjadi karena adanya kekeliruan dalam menafsirkan ayat :

“(130) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Q.S: Ali Imran 130) Secara sepintas, seakan-akan hanya yang berlipat dan memberatkan, namun apabila pemahamannya dikaitkan dengan ayat yang lain dan memperhatikan tahap-tahapan pengharaman riba, maka dapat disimpulkan bahwa segala jenis riba diharamkan.Kata “ berlipat” merupakan sifat dari riba, dan bukan merupakan syarat, Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, dalam bukunya Riba dan transaksi Keuangan Dalam Pandangan Syariah Islam menegaskan :

“ Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus demikian banyak, Ayat ini menegaskan tettang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-lipat) menjadi sifat umum dari riba dalam terminology syara (Allah dan rasulnya). Dr. Sami Hasan Hamoud, dalam bukunya menjelaskan bahwa bangsa Arab disamping melakukan pinjam meminjam uang dan barang bergerk juga juga melakukannnya terhadap binatang ternak. Misalnya seseorang meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bin Makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (Bin Labun), jika meminjamkan bin labun, ia meminta kembalian haqqah (umur 4 tahun). Penafsiran terhadap ayat secara parsial tanpa mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah, demikian pula disiplin ilmu bayan, badie dan ma’anie, akan menimbulkan hasil penafsiran yang keliru. Ayat 130 Ali Imran yang diturunkan pada tahun ke 3 H, harus dipahami dengan ayat 278-279 surat Al Baqarah yang diturunkan pada tahun 9 H, yang menurut para ulama ayat tersebut merupakan ayat “sapu jagat” untuk menetapkan segala bentuk, ukuran, kadar dan jenis riba.

4. Bank sebagai lembaga, tidak termasuk kedalam mukallaf. Sehingga tidak terkena khitab ayat ayat dan hadits riba. Ada sebagian ulama berpendapat, bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di jazirah Arab yang belum ada bank tetapi hanya individu-individu. Dengan demikian bank BCA, Danamon atau bank Lippo tidak terkena hukum Taklif, karena pada masa nabi belum ada.

a. Pandangan bahwa pada masa pra Rasulullah tidak ada “badan hukum “ sama sekali adalah sangat keliru, Sejarah Romawi, Yunani, dan Persia menunjukkan ribua lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa.

b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badabn hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan. Dilihat dari sisi manfaat dan madharat, dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan akan lebih besar jika dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh individu. Kemampuan pengedar narkotik yang terorganisir jauh berdampak dibandingkan dengan tindakan perorangan, sehinga sangat naïf jika kita mengatakan apapun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hokum taklif karena bukan insane mukallaf. Memang ia bukan insane mukallaf, namun melakukan tindakan (fi’il mukallaf) yang jauh lebih besar dan berbahaya dampaknya.Demikian juga dengan lembaga keuangan, tindakan rentenir yang bersifat individu memiliki hokum yang sama jika dilakukan secara kelembagaan (terorganisir).

G. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Tabel Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bunga Bagi Hasil Penentuan bungan dibuat pada waktu aqad dengan asumsi harus selalu untung Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan n oleh pihak peminjam untung atau rugi Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan,apabila rugi, kerugian akan ditanggung bersama demikian pula jika sebaliknya. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, sekalipun jumlah keuntungan berlipat. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah pendapatan investasi Eksistensi bunga diragukan (atau dikecam) oleh semua agama termasuk agama Islam Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil H. Berbagai Fatwa Tentang Riba.

Berikut adalah cuplikan beberapa fatwa para Ulama:

1. Majlis Tarjih Muhammadiyah a. Majlis Tarjih Sidoarjo (196 8) memutuskan:

(a) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur’an dan As Sunnah

(b) Bank dengan sistim riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.

(c) Bunga yang diberikan bank-bank pemerintah kepada nasabahnya atau sebaliknya, selama ini berlaku termasuk perkara musytabihat

(d) Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistim perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam b. Majlis Tarjih Wiradesa Pekalongan (1972), Memutuskan

(a) Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Tarjih Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistim perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah syariah.

(b) Mendesak majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersbut dalam muktamar akan datang. Masalah keuangan ditetapka berdasarkan keputusan Muktamar Majlis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uanag atau harta, hak milik dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam dibahas dalam muktamar Majlis Tarjih Malang (1989) . Keputusannya koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam tidak termasuk riba, namun hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi. 2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama Melalui beberapa kali sidang, Menurut lajnah, hokum bank dan bunganya sama seperti hokum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan masalah ini.

a. Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut rente.

b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.

c. Syubhat, sebab para ahli hokum berselisih tentangnya. Meskipun demikian, Lajnah memutuskan bahwa, pilihan yang berhati, hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank haram. Keputusan lebih lengkap, ditetapkan dalam sidang di Bandar lampung tahun 1982, sebagai berikut: Terjadi perbedaan pendapat tentang bunga bank sebagai berikut:

a. Bunga bank dan riba sama mutlak sehingga hukumya haram. Variasi pendapat didalamnya:

(a) Bunga bank dabn segala jenisnya hukumnya haram

(b) Bunga bank haram, namun sementara sistim bank Islam belum ada, hukumnya boleh dipungut

(c) Bunga bank haram, namun boleh dipungut karena ada kebutuhan yang kuat (hajah Rajihah)

b. Bunga bank dan riba berbeda sehingga hukumnya boleh. Variasi pendapat didalamnya:

(a) Bunga konsumsi sama dengan riba, bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.

(b) Bunga giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal,

(c) Bunga deposito hukumnya boleh

(d) Bunga bank tidak haram jika menentukan tarifnya terlebih dahulu secara umum.

c. Bunga bank hukumnya subhat, Berhubung banyaknya pendapat tersebut, Lajnah mengusulkan jalan keluar sebagai berikut:

a. Sebelum tercapainya cita-cita tersebut hendaknya sistim perbankan sekarang diperbaiki

b. Perlu diatur konsep-konsep perhimpunan dan penyaluran dana yang sesuai dengan sistem perbankan Islam.

3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI), Dalam dua kali sidang OKI di Karachi dan Pakistan tahun 1970, menyepakati sebagai keputusan berikut:

a. Praktek bank dengan sistim bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam.

b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keputusan inilah yang melatarbelakangi berdirinya Islamic Development Bank (IDB)

4. Mufti Negara Mesir Sejak tahun 1900 hingga 1989 mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank merupakan salah satu bentuk Riba yang diharamkan.

5. Konsul Kajian Islam Dunia Ulama-ulama dunia yang tergabung kedalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hokum yang tegas tentang keharaman bunga bank konvensional.

I. Dampak Negatif Riba. Secara ringkas dampak negatif adanya sistim bunga dalam perekonomian adalah sebagai berikut:

a. Mendorong laju inflasi, akibat adanya biaya uang melalui bunga.

b. Semakin ketergantungannnya para penghutang kepada peminjam

c. Terhambatnya perkembangan sector riil

d. Adanya bentuk ketidak adilan dalam menanggung resiko investasi antara debitur (peminjam) dan kreditur (yang memberi pinjaman).

1 komentar:

AMPLOP ZAKAT mengatakan...

Assalamu alikum wr,wb

Salam Kenal
semoga ekonomi Islam dapat terbangun demi kesejahteraan rakyat

mohon izin taut blog

Salam
Manajemen
AMPLOP ZAKAT

Sierra Trading Coupons
Sierra Trading Coupons