BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
UANG
Dinar emas dan dirham perak serta uang Bantu fulus (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku pada zaman Rasulillah Saw. Dasar transaksi uang tersebut di gunakan sehingga munculnya uang kertas paper money, tepatnya setelah perang dunia 1 pada tahun 1914 M. Semenjak itu, banyak Negara tidak menggunakan uang emas dan perakuntuk transaksi dan sebagai dasar mata uang.
Realitas ini mejadikan para ulama berbeda pandangan dalam menaplikasikan hukum fiqih yang berlaku pada dirham perak dan dinar emas terhadap mata uang kertas.
Dikalangan mereka ada yang berpendapat bahwa tidak wajib zakat pada uang kertas dengan alasan terbuat dari kertas, sedangkan mata uang wajib du zakati hanya pada emas dan perak.
Sebagian lagi ada yang berpendapat uang kertas ini bukan objek suatu riba, karena menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan riwayat dari Hambali bahwa illat riba pada emas dan perk adalah nilai harga. Dan sedangkan pada uang kertas berlaku hitungan.
PERMINTAAN UANG
Dalam perekonomian konvensional,masalah permintaan uang kurang begitu jelas, karena dalam perekonomian non islam, menjadikan uang sebagai komoditas, dan lebih bahaya lagi dalam perkonomian konvensional pada saat sekarang uang malah banyak di perdagangkan dari pada sebagai alat tukar dalam perdagangan. Dan di sini kami mencoba membahas bagaimana sebenarnya uang dan permintaan uang dalam islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian mata uang?
2. Fungsi uang dan sejarah perkembangan uang.
3. Permintaan uang dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mata Uang
1. Definisi uang secara bahasa
secara etimologi, definisi uang (nuqud) ada beberapa makna:
a. Al-Naqdu: yang baik dari dirham, dikatakan dirhamun naqdun, yakni baik. ini adalah sifat.
b. Al-Naqdu: meraih dirham, dikatakan meraih naqada al- darahima yanquduha naqdan, yakni meraih nya (menggegam, menerima).
c. Al-Naqdu: membedakan dirham dan mengeluarkan yang palsu. Sibawaihi bersyair:
“Tanfi yadaha al-Hasna fi kulli Hajiratin- Nafya al-Darahima Tanqadu al-Shayarifu”
yang bermakna;” Tangannya (unta) mengais-ngais di setiap padang pasir memilah-milah dirham oleh tukang uang (pertukaraan, pemeriksaann, pembuaat uang)’
d. AL-Naqdhu: Tunai, lawan tunda, yakni memberikan bayaran segera. Dalam hadis jabir: “Naqadani al-Tsaman”, yakni dia membayarku harga tunai. Klemudian digunakan atas yang dibayarkan, termaksud penggunaan mas dar (akar kata) terhadap isim maf’ul (menunjukkan objek).
2. Istilah Nuqud dalam istilah fuqaha
Kata Nuqud barang-barang murah.
Kata Dirham, dinar dan Wariq terdapat tidak terdapat dalam Alquran mamupun hadis Nabi Saw. Mereka mengunakan kata Dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas, kata Dirham unyuk menunjukan alat tujkar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan kata Wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘Ain untuk menunjukkan Dinar emas. Sedang kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang di gunakan untuk membeli dalam Al Quran dan hadis.
Firman Allah Swt (QS Ali Imran 75)
Di antara ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi[206]. mereka Berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka Mengetahui.
Dan pada ayat yang lainnya :
20. Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf[747].
19. Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Nabi Saw. Bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan: “jangan kalian jual santu dinar dengan dua dinar, dan satu dirham dengan dua dirham.” Juga Nabi Saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Abu Sai’d al-Khudry: “jangan kalian jual emas dengan emas, perak dengan perak kec uali sama nilai, ukuran dan timbangannya.
Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang di cetak, tetapi mencakup seluruh jenisnya. Al-Syarwani berkata: “(dan uang) yakni emas dan perk sekalipun bukan cetakan. Dan pengususan terhadap cetakan sangat di hindari dalam padangan (‘Urf) para fuqaha.’
Jadi dirham dan dinar merupakan alat standar ukuran yang di bayarkan sebagai pertukaran komoditas dan jasa. Keduanya adalah unit hitungan yang memiliki kekuatan nilai tukar pada bendanya, bukan pada perbandingan dengan komoditas atau jasa, Karena segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga bagi keduanya.
Imam Ghazali (wafat tahun 505 H) berkata:
Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa di ukur dengan keduanya.
Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran minyak za’faran ini menyamai 100. keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran maka keduanya bernilai sama.
Dia juga berkata:
Kemudian di sebabkan jual beli muncul kebutuhan terhadap dua mata uang. Seseorang yang ingin makanan dengan baju, dari mana dia mengetahui ukuran makanan dari nilai baju tersebut. Berapa? Jual beli terjadi pada jenis barang yang berbeda seperti di jual baju dengan makanan dan hewan dengan baju, barang-barang ini tidak sama, maka diperlukan “hakim yang adil” sebagai penengah dari kedua orng yang ingin bertran saksi dan berbuat adil satu dengan yang lain. Keadilan itui di tuntut dari jenis harta. Kemudian di perlukan jenis harta yang paling bertahan lama adalah barang tambang. Maka di buatlah uang dari emas, perak, dan logam.
Beliau mengisyaratkan uang sebagai unit hitungan yang digunakan untuk mengukur nilai harga komoditas dan jasa. Demikian juga beliau mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan karena itu dibuat dari jenis harta yang bertahan lama karena kebutuhan yang berkelanjutan sehingga betul-betul bersifat cair sehingga dapat di gunakan pada waktu yang di kehendaki.
Ibnu Khaldun juga mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan dalam perkataan beliau: “ kemudian Allah Ta’ala menciptkan dari dua barang tambang emas dan perak, sebagai nilai untuk setiap harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di dunia kebanyakannya.”
Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 H) berkata:
“ketika sese orang susah menemukan nuilai persamaan antara barang-barang yang berbeda, jadikan dinar dan dirham untuk mengukurnya. Apabila seseorang menjual kuda dengan beberapa baju, nilai harga kuda itu terhadap beberapa kuda adalah nilai harga baju itu terhadap beberap0a baju. Maka jika kuda itu bernilai 50, tentunya baju-baju jjuga harus bernilai 50.”
Demikian jelaslah bahwa fuqaha’ memberikan definisi uang dari penjelasan denan melihat fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fugsi:
a. sebagai standar ukuaran menentukan nilau harga komoditas dan jasa.
b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa.
c. Sebagai alat simpanan. Fungsi ini di singgung oleh al-Ghazali dan ibnu Khaldun.
Kemudian ada diantara fuqaha’ yang mempertegas peran tradisi (‘Urf) dalam pengukuhan uang, dan tidak terbatas pada dua mata uang yang ada. Kenyataan ini diperkuat pernyataan-pernyataan berikut.
1. perkataan Sayyidina Umar bin khatab:” Aku berkeingiunan membuat dirham dari kulit unta.” Lalu ada yang meberi komentar:
“akhirnya beliau urungkan niatnya,. pernyataan ini menunjukkan bahwa beliau sempat berpikir untuk mencetak uang dari kulit Unta, tapi tidak dilakdanakan karena khawatir unta akan punah yang pada sisi lain berfungsi sebagai alat transportasi dan Alat jihad.”
2. Perkataan Imam Malik Bin Anas: “seandainya orang-orang membolehkan kulit-kulit hingga ada sakkah (stempel) dan benda, tentu aku benci (hukumnya makruh) dijual dengan emas dan perak secara tunda.” Yakni, jika orang-orang mengakui keabsahan kulit-kulit itu sebagai uang, maka diberlakukan hokum-hukum yang berlaku pada emas dan perak. Seperti diisyaratkannya tunai dalam satu majlis (Pertemuan) ketika terjadi transaksi pertukaran dengan mata uang lain.
Maka, sekarang bisa dikemukakan definisi uang setelah memperhatikan ungkapan para Fukaha seperti berikut ini. Uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga dimedia Transaksi pertukaran. Sedangkan berdasarkan pada ungkapan Al Ghazali dan Ibnu khaldun sebagai berikut: Uang adlah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.
3. Definisi Uang menurut Para Ahli Ekonomi
Masih belum ada kata sepakat tentyang difinisi uang yang spesifik. Definisi-definisi mereka berbeda disebabkan perbedaan cara pandang mereka terhadap hakikat uang
Menurut Dokter Fuad Dahman, defenisi-definisi uang yang di ajukan banyak dan berbeda-beda. Semakin bertambah seiring perbedaan para penulis dalam memandang hakikat uang dan perbedaan pengertiannya dalam pandangan mereka.
Dokter Muhammad Zaki Syafi’I mendefinisikan uang sebagai: “segala sesuatu yang diterima khlayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban” sedangkan J.P Coraward mendefinisikan uang sebagai:”segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagi standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.
Boumul dan Gandlre berkata:”uang mencakkup seluruh sesuatu yang diterima secara luas sebagi alat pembayaran, diakui secara luas sebagai alat pembayaran utang-utang dan pembayaran harga barang dan jasa.”
Dokter Nazhim Al-Syamri berkata:”setiap sesuatu yang diterima semua pihak dengan legalitas tradisi (urf) atau undang-undang, atau nilai sesuatu itu sendiri, dan mampu berfungsi sebagi media dalam proses transaksi pertukaran yang beragam terhadap komoditi dan jasa, juga cocok utnuk menyelesaikan utang piutang dantanggungan, adalah termasuk dalam lingkup uang.
Dari sekian definisi yang diutarakan, kita bisa membedakan dalam tiga segi: pertama, definisi dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagi standar ukuran nilai, media pertukaran dan alat pembayaran yang tertunda (Deffered Payment). Kedua, definisi uang dengan melihat karakteristiknya yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas oleh tiap-tiap individu. Ketiga, definisi uang dari segi peraturan perundangan sebagi segala sesuatu yang memiliki kekuatan hokum dalam menyelesaikan kewajiban dan tanggungan.
Disini kita menemukan bahwa para ahli ekonomi membedakan antara uang dan mata uang. Mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat dapat memenuhi tangungan dan kewajiban, serta diterima secar luas.
Sedangkan uang lebih umum dari mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang (uang perbankan). Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tapi tidak setiap uang itu mata uang antara keduanya dinamakan hubungan umum khusus mutlak.
B. Fungsi uang
1. Uang sebagai standar ukuran harga dan unit hitungan
Yakni sebagai media pengukur nilai harga komoditi dan jasa, dan perbandingan harga setiap komoditas dan komoditas lainnya.
2. Uang sebagai media pertukaran (medium of exchange)
Fungsi ini menjadi sangat penting dalam ekonomi maju, dimana peetukaran terjadi oleh banyak pihak. Seseorang tidak memproduksi setiap apa yang dibutuhkan, tapi terbatas pada barang tertentu, atau bagian barang atau jasa tertentu yang dijual kepada orang-orang untuk selanjutnya ia gunakan untuk mendapatkan barang atau jasa apa yang ia butuhkan. Orang memproduksi barang dan menjualnmya dengan bayaran uang, selanjutnya dengan uang itu ia gunakan untuk membayar pembelian apa yang ia butuhkan. Dengan demikian, uang sebagi proses pertukaran kedalam dua macam:
a. proses penjualan barang atau jasa dengan pembayaran uang.
b. proses pembelian barang atau jasa dengan menggunakan uang
3. Uang sebagai media penyimpan Nilai
Maksud para ahli ekonomi dalam ungkapan mereka “uang sebagi media penyimpan nilai” adalh bahwa orang yang mendapatkan uang, kadang tidak mengeluarkan seluruhnya dalam satu waktu, tapi ia disisihkan sebagian untuk membali barang atau jasa yang ia butuhkan pada waktu mendadak atasu menghadapi kerugian yang tak terduga.
C. Uang di berbagai Bangsa
1. Uang pada bangsa Lydia, dikatakan bahwa Lydia atau bangsa lydiah adalah orang-orang yang pertamakali mengenal uang cetakan. Pertama kali uang muncul ditangan para pedagang ketika mereka merasakan kesulitan dalam jual beli dalam system barter lalu mereka membuat uang. Pada masa Croesus 570-546 SM, Negara berkepentingan mencetak uang. Dan pertama kalinya masa ini terkenal dengan mata uang emas dan perak yang halus dan akurat.
2. Uang pada bangsa Yunai
Bangsa yunani membuat “uang komoditas” (komodity money) sehingga tersebar diantara mereka.koin-koin dari perunggu. Kemudian mereka membuat emas yang pada awalnya berada pada mereka dalam bentuk batangan sampai masa dimulainya percetakan uang tahun 406 SM. Kadang mereka mengukir di uang mereka bentuk berhala mereka, gamabar pemimpin-pemimpin mereka, sebagimana juga kadang mereka mengukir nama negeri dimana uang itu dicetak. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak
3. Uang pada bangsa Romawi
Bangsa romawi pada masa sebelum abad ke-3 sebelum masehi menggunakan mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut Aes (Aes signatum aes rude) mereka juga menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Dikatakan oleh orang yang pertama kali mencetaknya adalah Numa atau Servius Tullius, dikatakan koin itu dicetak pada tahun 269 SM. Kemudian mereka mencetak denarius dari emas yang kemudian menjadi mata uang utan Imperium Romawi dicetak tahun 268 SM diatas uang itu mereka cetak ukiran bentuk tuhan-tuhan dan pahlawan-pahlawan mereka, hingga masa Julius Caesar yang kemudian mencetak gambarnya pada uang tersebut.
Mata uang rmawi menjadi bermacam-macam sesuai dengan kepentingan politiknya dalam bentuk ukiran pada uang yang digunakan untuk tujuan-tujuan politik.
4. Uang pada Bangsa Persia
bangsa Persia mengadobsi percetakan uangdari bansa Lydia setlah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang di cetak dari emas dan perak dengan perbandingan (ratio) 1:13,5. suatu hal yang membuat naiknya nilai emas dari perak. Uang pada mulanya berbentuk persegi empat kemudian mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran-ukiran tempat peribadatan mereka dan tempat nyala api. Mata uang yang tersebar luas pada bangsa Persia adalah dirham perak dan betul-betul murni. Ketika system kenegaraan mengalami kemunduran, mata uang mereka pun ikut serta mundur.
Menurut mawardi, “Bangsa Persia itu, ketika persoalan system kenegaran mereka hancur, uang mereka ikut hancur bersamanya.”
5. uang dalam pemerintahan islam
ulasan tentang uang dalamsistem pemerintahan islam agak panjang dan terperinci, karena itu penulis mencoba menyimpulkan dalam poin-poin berikut.
a) Uang pada masa kenabian
Bangsa Arab di hijaz pada masa jahiliyah tidak memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang mereka peroleh berupa dinar emas Hercules, Byziantium dan dirham perak dinasti Sasanid dari irag, dan sebagian mata uang bangsa himyar, yaman.
Ketika nabi Muhammad SAW diutus sebagi Rasul beliau menetapkan apa yang sudah menjadi tradisi penduduk mekkah. Dan beliau memerintahkan penduduk madina untuk mengikuti timbangan penduduk makkah ketika itu mereka berinteraksi ekonomi menggunakan dirham dalam jumlah bilangan bukan ukuran timbangan beliaqu bersabda:”timbangan adalah timbangan penduduk makkah sedang takaran adalah penduduk madinah”
Sebab munculnya perintah itu adalah perbedaan ukuran dirham Persia karena terdapat tiga bentuk percetakan uang
a. adanya ukutran 20 qirath (karat)
b. adanya ukuran 12 karat
c. adanya ukuran 10 karat
lalu ditetapkan dalam dirham islam menjadi 14 karat dengan mengambil sepertiga dari semua dirham Persia yang ada. 20+12=10= 42/3= 14 = 6 Danig, setiap Danig ukurannya seukuran dengan 7 Mitsgal dalam ukuran sekarang adalah gram. Demikian Nabi Muhammad SAW juga mempunyai peranan dalam masalah keuangan, yaitu menentukan ukuran timbangannya. Bersam itru, mereka menulis tentang uang dari pandangan islam tidak menyinggung soal peranan ini. Hanya saja Rasulullah SAW tidak megubah mata uang karena kesibukannya memperkuat tiang-tiang agama islam di Jazirah Arab. Karena itu sepanjang masa kenabian, kaum muslimin terus mengenakan mata uang asing dalam interaksi ekonomi mereka.
b) uang pada masa khulafah Urrasiddin
ketikaq Abu bakar menjadi khalifah beliau tidak melakukan perubahan tyerhadap mata uang beredar bahkan menetapkan apa yang sudah berjalan dari masa Nabi SAW yaitu penggunaan mata uang Dinar Hercules dan Dirham Persia. Beliau sendiri sibuk memerangi kemurtadan
begitu juga ketika Ummar Bin Khatab sebagi khalifah sibuk menyebarkan islam ke berbagai negeri dan menetapkan persoalan uang sebagaimana yang sudah berlaku. Mada masa Usman Bin Affan dicetak uang seperti masa umar bin khatab dan di tuliskan juga kota tyempat percetakan dan tanggalnya dendgan huruf bahlawiyah dan salah satu kaliamat bismillah, barakah, bismillah Rabbi, Allah, dan Muhammad dengan jenis tulisan Kufi
ketika Ali bin Abi thalib beliau mencetak dirham model Usman bin Affan dan menuliskan di lingkarannya salah satu kalimat Bismillah, Bismillah Rabbi, dan Rabbi ya Allah dengan tulisan kufi.
c) Uang pada masa Dinasti Ummaya
Percetakan uang pada masa dinasti ini semenjak masa Muawiyyah bin Abi Sofyan masih meneruskan model sasanid dengan menambahkan beberapa kata tauhid seperti halnya pada masa khalifa Urrasidin
Pada masa abdul malik bin marwan, setelah mengalahkan Abdullah bin zubair dan Mush’ab bin zubair, beliau menyatukan tempat percetakan. Dan pada tahun 76 H. beliau membuat mata uang islam yang bernafaskan model islam itu sendiri tidak ada lagi isyarat atau tanda bizantium atau Persia. Dengan demikian, abdul malik bin marwan adalah orang yang pertama kali mencetak dinar dan dirham dalam model islam itu sendiri.
d) Uang pada masa dinasti abbasiyah dan sesudahnya
Pada masa abbasiyah, pencetakan dinar masih melanjutkan cara dinasti umayyah. Al-Saffah mencetak dinarnya yang pertama pada awal berdirinya dinasti abbasiyah tahun 132 H mengikuti model dinar umayyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukiran.
Sedangkan dirham, pada awalnya ia kurangi satu butir kemudian dua butir. Pengurangan ukuran dirham terus berlanjut pada masa abu ja’far Al-Mansyur dia mengurang tiga butir hingga pada masa musa al hadi kurangnya mencapai satu karat. Dinarpun tidak seperti adanya, pengurangan terjadi setelah itu namum begitu, nilainya dihitung seperti semula. Dengan demikian kita membedakan dua fase pada masa dinasti abbasiyah. Fase pertama, terjadai pengurangan terhadap ukuran dirham, kemudia dinnar. Fase kedua, ketika pemerintahan melemah dan para pembantu (mawali) dari orang-orang turki ikut serta mencampuri urusan Negara. Ketika itu pembiayaan semakin besar, orang-orang sudah menuju kemewahan sehingga uang tidak lagi mencukupi kebutuhan. Negarapun membutuhkan bahan baku tambahan, terjadilah kecurangan dalam pembuatan dirham dan mencampurkannya dengan tembaga untuk memperoleh keuntungan dari margin nilai tertulis dengan nilai actual.
Pada masa dinasti fathiniyah dirham-dirham campuran sangat banyak menyebabkan harganya turun sehingga pada masa Al-hakim bin Amrillah harga dinnar sama denngan 34 dirham, padahal perbandingan asli antara dinnar dan dirham adalah 1 : 10.
Pada massa Shalahuddin al-Ayubbi Rahimahullah, bahan baku emas tidak cukup untuk percetakan dinar di sebabkan berbagai perperangan karena itu, mata uang utama adalah perak dan tidak juga murni, bahkan separuhnya adalah tembaga. Percetakan uang dalam bentuk ini terus berlanjut di Mesi dan Syam (Syiria) sepanjang massa pemerintahan Bani Ayyub.
Pada massa pemerintahan Mamalik, percetakan uang tembaga (fulus) tersebar luas. bahkan pada massa pemerintahan raja al-Zhahir Barqud dan anaknya Farj, uang tembaga menjadi mata uang utama dan percetakan dirham di hentikan kareana beberapa sebab berikut:
a. penjualan perak ke negara-negara Eropa.
b. Impor tembaga dari Negara-negara eropa yang semakin bertambah akibat dari peningkatan produksi pertambangan di sebagian besar wilayah Eropa.
c. Meningkatnya konsumsi perak untuk pembuatan pelana dan bejana.
Ketika perang dunia 1 berkecamuk tahun 1914, Turki seperti Negara-negar lainnya mengumumkan pembelakuan wajib uang kertas dan membatalkan transaksi dengan emas dan perak. System ini berlaku di Negara-negara Arab di bawah kekuasaan pemerintahan Ustmaniyah sampai sekutu membagi-bagi wilayah arab.
Demikianlah kita perhatikan perkembangan system keuangan dunia yang terjadai. Pada tahun 1914, uang kertas di seluruh dunia bersifat wajib dan tidak dengan penopang barang tambangan tertentu. Uang kertas adalah satu-satunya mata uang utama yang terakhir sekiranya tidak lagi ditukarkan dengan emas.
D. Permintaan Uang dalam Islam
1. karena ada kebutuhan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di dalam islam, permintaan uang adalah sebagai kebutuhan, (kebutuhan transaksi atau disebut dengan money demand for transaction),bukan untuk spekulasi, dan islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran, karena Rasulullah SAW telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran pada zaman dahulu, yaitu barter, Rasululllah sangat menyadari kelemahan-kelemahan dalam barter, maka beliau menganjurkan para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.
Lain halnya denngan ekonomi konvensional, bahwa keberadaan uang malah banyak di perdagangkan, dari pada dipergunakan sebagai alat tukar.
2 Untuk berjaga-jaga.
Islam juga menganjurkan kita untuk ber Investasi untuk memenuhi kebutuhan yang akan dating, jadi disini sudah jelas bahwa di dalam Islam, uang juga untuk berjga-jaga untuk kebutuhan kita juga.
Jadi disini sudah jelas bagai mana permitaan uang dalam islam.
BAB III
KESIMPULAN
Demikian jelaslah bahwa fuqaha’ memberikan definisi uang dari penjelasan denan melihat fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu melalui tiga fugsi:
a. .sebagai standar ukuaran menentukan nilau harga komoditas dan jasa.
b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa.
c. Sebagai alat simpanan. Fungsi ini di singgung oleh al-Ghazali dan ibnu Khaldun.
Pada akhirnya pembahasan ini kita dapat mengutib beberapa kesimpulan:
Pertama, hukum Islam sifatnya flesibel. Sebab, dalil-dalil dasar menetapkan bahwa permasalahan yang ada di dunia ini, sekalipun tidak akan berakhir, tapi ia tidak akan keluar dari prinsi-prinsip dasar yang telah ditetapkan.
Kedua, dizaman Rasulullah Saw uang tidak di cetak, tetapi ikrarnya beliauterhadap timbangan penduduk Makkah, berarti menyetujui untuk menetapkan berat uang- sekalipun ini hanya perkiraan loqika-sehingga semua takaran dan ukuran yang di tetapkan oleh hukum berasal dari berat tersebut.
Adapun Negara Romawi dan Persia, keduanya mengalami kekacauan yang di sebabkan oleh tidak berpegangnya pada timbangan tertentu.
Ketiga, permintaan uang dalam Islam
1. Karena adanya kebutuhan.
2. Untuk berjaga-jaga sebagai kebuthan.
Rabu, 27 Agustus 2008
Musyarakah dan Prakteknya Dalam Perbankan Syariah
1. PENDAHULUAN
Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi allah adalah agama Islam, bahwa agama Islam adalah cara hidup yang koheren, dirancang untuk kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi keadilan sosial ekonomi serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Hal ini menunjukan bahwa Islam merupakan ajaran agama yang memiki ajaran yang bersifat rahmatan lil alamin.
Dalam aplikasinya, ajaran Islam sangat kompleks membahas tentang kehidupan manusia yang mampu diatasi dengan baik. Baik dari segi ekonomi, politik, sosial, kesehatan, dan banyak hal lagi yang dibahas dalam Islam baik keduniaan (Duniawi) maupun keakhiratan (Ukhrowi).
Dalam pandangan sosialis, kkeadaan suatu Negara tau tumbuh kembang suatu negara ditentukan dari tumbuh kembang tingkat perekonmian Negara tersebut. Akan tidak begitu dengan Islam, dalam makroekonomi Islam, dijelaskan bahwa tolak ukur suatu Negara di ukur melalui kesejahteraan masyarakatnya dalam skala mikro ataupun makro.
Dalam mendukung perkembangan kesejahteraan masyarakat suartu negara, lembaga keuangan syari’ah baik bank maupun non bank sangat beperan penting . Hal ini dapat dilihat dari kejadian yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 dimana unit usaha yang mampu bertahan adalah usaha yang mampu mempertahankan kredibilitasnya dalam perekonomian makro dan salah satunya adalah BMT yang membantu menyelamatkan Negara dari inflasi yang sangat tinggi pada saat itu.
Peran bank syariah disini adalah sebagai penyalur dana masyarakat dan didalamnya banyak akad yang dianut untuk memperjelas aliran dana atau cashflow dana masyarakat. Dalam kasusu kali ini akad musyarakah adalah sebagai objek pembahasan dan bagaimana aplikasinya dalam realitas
II. PEMBAHASAN
Musyarakah istilah lain musyarakah adalah syarikah atau syirkah mempunyai lima variasi yaitu mufawadhah, inan, wujun, abdan, dan mudharabah. Musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usah tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan wasiat atau kondisi lainya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal muyarakah dan berbagi keuntungan
Hasil keuntungan dari musyarakah juga diatur, seperti halnya pada mudharabah, sesuai dengan prinsip pembagian keuntungan dan krugian (profit and loss sharing principle atau PLS) atau yang istilahnya digunakan oleh UU No 10 tahun 1998 adalah prinsip bagi hasil. Keuntungan dibagi menurut propersi yang ditentukan sebelumnya. Kedua pihak memikul resiko kerugian finansial. Musyarakah bank mempunyai hak suara. Dalam musyarakah, bank adalah mitra usaha. Maka, dalam kedudukanya sebagai mitra usaha, bank mempunyai hak yang sama dengan sesama mitra usaha dalam perjanjian musyarakah, antara lain: turut mengelola usaha yang di biayai.
Menurut ulama’ fiqih membagi musyarakah ada dua macam yaitu: Syarikat mulksyirkah al-amlak (perserikatan dalam pemilikan) dan sharikat aqud/syirkah Al-uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad)
Syirkah al-amlak menurut ulama fiqih adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui akad syirkah. Syirkah al-amlak dibagi menjadi dua yaitu:
a. ikhtiar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat seperti dua orang bersepakat memberi suatu barang atau mereka menerima harta hibah.
b. Syirkah jabr (perserikatan yang muncul menerima secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat) yaitu sesuatu yang diterapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak dari mereka seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat.
Syirkah al-uqud adalah syirkah yang akadnya dispakati dua orang atau lebih meningkatkan diri dalam perserikatan, modal dan keuntungan. Menurut ulama fiqih syirkah al-uqud dibagi menjadi empat yaitu:
a. Syirkah al-inan (penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang harus sama sejumlahnya)
b. Syirkah al-mufawadhah (perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitas harus samadan keuntungan dibagi rata)
c. Syikah al-mudharabah (bentuk kerjasama antara pemilik modal seseorang yang punya keahlian dagang dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama)
d.
Landasan hukum
Al-Qur’an
Qs.an-Nisa
Maka mereka berserikat pada sepertiga
Qs. Shaad: 24
Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakn amal salih
Al- hadits
Dari abu. Huroira, rosulullah saw bersabda, “sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikan selama satunya mengkhianatinya” (HR. Abu Dawwud)
Allah SWT telah berkata “aku menyertai 2pihak yang sedang berserikat (berkonsi) selama salah satu dari keduanya tidak menghianati yang lain: seandainya berkhianat maka aku keluar dari penyertaan tersebut” (Hadis Qudsi riwayat Abu Huroiroh)
Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mugnis telah berkata “kaum muslimin telah berkonsesus terhadap legutinasi musyarakah secara global walaupun terhadap perbedaan pendapat beberapa elemen daripadanya.
Teknik dalam perbankan terdiri dari:
a. bentuk umum dari usaha bagi hasil masyarakat (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transakksi musyarakah dilandasi adanya kenginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara berssama – sama
b. termasuk dalam golongan musyarakah adalah bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memafukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
c. Secara spekilasi bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), (properti), peralatan (equipment), atau intangible asset, seperti hak paten atau goodwinll, kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainya yang dapat dinilai dengan uang
d. Dengan merangkum seluruh kombinasi dan bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel
Mafaat al-musyarakah terdiri dari:
a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha meningkat
b. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usahabaik, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah
d. Bank akan lebih efektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan
e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah atau musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga. Tetapi berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Terjadi resiko:
a. Side steaming nasabh menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut kontrak
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja
c. Penyembuhan keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur
III. PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, Abdul Ghofur. 2006. Gadai Syariah di Indonesia Konsep Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univversity Press
Antonio, Muhamad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Instute.
Frank E, Vogel dan Samuel L, Hayes. 2007. Hukum Keuangan Islam: Konsep Teori dan Praktik. Bandung: Po Box 31 Ujung berung
Azwar Karim, Adiwarman. 2003. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia
Dahlan, Abdul Azis. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Muhamad. 2000. Sistem dan Prosedur Opersional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Pres (Anggota IKAPI)
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonesia.
Sjahdeni, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukanya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Widodo, Hertanto. 1999. Pas (pedoman Akuntansi Syariah) Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wathamwil. Bandung: Mizan.
Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi allah adalah agama Islam, bahwa agama Islam adalah cara hidup yang koheren, dirancang untuk kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi keadilan sosial ekonomi serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Hal ini menunjukan bahwa Islam merupakan ajaran agama yang memiki ajaran yang bersifat rahmatan lil alamin.
Dalam aplikasinya, ajaran Islam sangat kompleks membahas tentang kehidupan manusia yang mampu diatasi dengan baik. Baik dari segi ekonomi, politik, sosial, kesehatan, dan banyak hal lagi yang dibahas dalam Islam baik keduniaan (Duniawi) maupun keakhiratan (Ukhrowi).
Dalam pandangan sosialis, kkeadaan suatu Negara tau tumbuh kembang suatu negara ditentukan dari tumbuh kembang tingkat perekonmian Negara tersebut. Akan tidak begitu dengan Islam, dalam makroekonomi Islam, dijelaskan bahwa tolak ukur suatu Negara di ukur melalui kesejahteraan masyarakatnya dalam skala mikro ataupun makro.
Dalam mendukung perkembangan kesejahteraan masyarakat suartu negara, lembaga keuangan syari’ah baik bank maupun non bank sangat beperan penting . Hal ini dapat dilihat dari kejadian yang menimpa Indonesia pada tahun 1998 dimana unit usaha yang mampu bertahan adalah usaha yang mampu mempertahankan kredibilitasnya dalam perekonomian makro dan salah satunya adalah BMT yang membantu menyelamatkan Negara dari inflasi yang sangat tinggi pada saat itu.
Peran bank syariah disini adalah sebagai penyalur dana masyarakat dan didalamnya banyak akad yang dianut untuk memperjelas aliran dana atau cashflow dana masyarakat. Dalam kasusu kali ini akad musyarakah adalah sebagai objek pembahasan dan bagaimana aplikasinya dalam realitas
II. PEMBAHASAN
Musyarakah istilah lain musyarakah adalah syarikah atau syirkah mempunyai lima variasi yaitu mufawadhah, inan, wujun, abdan, dan mudharabah. Musyarakah adalah kerjasama antara kedua pihak atau lebih untuk suatu usah tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan wasiat atau kondisi lainya yang berakibat pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal muyarakah dan berbagi keuntungan
Hasil keuntungan dari musyarakah juga diatur, seperti halnya pada mudharabah, sesuai dengan prinsip pembagian keuntungan dan krugian (profit and loss sharing principle atau PLS) atau yang istilahnya digunakan oleh UU No 10 tahun 1998 adalah prinsip bagi hasil. Keuntungan dibagi menurut propersi yang ditentukan sebelumnya. Kedua pihak memikul resiko kerugian finansial. Musyarakah bank mempunyai hak suara. Dalam musyarakah, bank adalah mitra usaha. Maka, dalam kedudukanya sebagai mitra usaha, bank mempunyai hak yang sama dengan sesama mitra usaha dalam perjanjian musyarakah, antara lain: turut mengelola usaha yang di biayai.
Menurut ulama’ fiqih membagi musyarakah ada dua macam yaitu: Syarikat mulksyirkah al-amlak (perserikatan dalam pemilikan) dan sharikat aqud/syirkah Al-uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad)
Syirkah al-amlak menurut ulama fiqih adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui akad syirkah. Syirkah al-amlak dibagi menjadi dua yaitu:
a. ikhtiar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat seperti dua orang bersepakat memberi suatu barang atau mereka menerima harta hibah.
b. Syirkah jabr (perserikatan yang muncul menerima secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat) yaitu sesuatu yang diterapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak dari mereka seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat.
Syirkah al-uqud adalah syirkah yang akadnya dispakati dua orang atau lebih meningkatkan diri dalam perserikatan, modal dan keuntungan. Menurut ulama fiqih syirkah al-uqud dibagi menjadi empat yaitu:
a. Syirkah al-inan (penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang harus sama sejumlahnya)
b. Syirkah al-mufawadhah (perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitas harus samadan keuntungan dibagi rata)
c. Syikah al-mudharabah (bentuk kerjasama antara pemilik modal seseorang yang punya keahlian dagang dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama)
d.
Landasan hukum
Al-Qur’an
Qs.an-Nisa
Maka mereka berserikat pada sepertiga
Qs. Shaad: 24
Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakn amal salih
Al- hadits
Dari abu. Huroira, rosulullah saw bersabda, “sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikan selama satunya mengkhianatinya” (HR. Abu Dawwud)
Allah SWT telah berkata “aku menyertai 2pihak yang sedang berserikat (berkonsi) selama salah satu dari keduanya tidak menghianati yang lain: seandainya berkhianat maka aku keluar dari penyertaan tersebut” (Hadis Qudsi riwayat Abu Huroiroh)
Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mugnis telah berkata “kaum muslimin telah berkonsesus terhadap legutinasi musyarakah secara global walaupun terhadap perbedaan pendapat beberapa elemen daripadanya.
Teknik dalam perbankan terdiri dari:
a. bentuk umum dari usaha bagi hasil masyarakat (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transakksi musyarakah dilandasi adanya kenginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara berssama – sama
b. termasuk dalam golongan musyarakah adalah bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memafukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
c. Secara spekilasi bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), (properti), peralatan (equipment), atau intangible asset, seperti hak paten atau goodwinll, kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainya yang dapat dinilai dengan uang
d. Dengan merangkum seluruh kombinasi dan bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel
Mafaat al-musyarakah terdiri dari:
a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha meningkat
b. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usahabaik, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah
d. Bank akan lebih efektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan
e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah atau musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga. Tetapi berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Terjadi resiko:
a. Side steaming nasabh menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut kontrak
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja
c. Penyembuhan keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur
III. PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, Abdul Ghofur. 2006. Gadai Syariah di Indonesia Konsep Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univversity Press
Antonio, Muhamad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Instute.
Frank E, Vogel dan Samuel L, Hayes. 2007. Hukum Keuangan Islam: Konsep Teori dan Praktik. Bandung: Po Box 31 Ujung berung
Azwar Karim, Adiwarman. 2003. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: IIIT Indonesia
Dahlan, Abdul Azis. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Muhamad. 2000. Sistem dan Prosedur Opersional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Pres (Anggota IKAPI)
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonesia.
Sjahdeni, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukanya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Widodo, Hertanto. 1999. Pas (pedoman Akuntansi Syariah) Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wathamwil. Bandung: Mizan.
Riba dan Permasalahannya
A. Definisi Riba
Riba secara bahasa bermakna : ziyadah, (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam penjelasan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 29;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(Q.S. An Nisa:29) Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an Menjelaskan : “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi penggnati atau penyeimbang yang dibenarkan syariah’; Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomissuatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, setelah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima sipeminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa adanya faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan bisa saja rugi.
Pengertian senada disampaikan juga oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqhiyah. Diantaranya:
1. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Sahih Bukhari.
2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
3. Raghib Al Asfahani
4. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’I
5. Qatadah
6. Zaid Bin Aslam
7. Mujahid
8. Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah
9. Imam Ahmad Bin Hambal. Pendiri mazhab Hambali.
B. Jenis-jenis Riba. Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama dibagi lagi menjadi riba qardh dan riba Jahiliyah, sedangkan kelompok kedua terdiri dari riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqhtaridh)
2. Riba Jahiliyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena sipeminjam tidak mampu mebayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukatkan itu termasuk barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah. Penagguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
C. Jenis Barang Ribawi Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dalam kitab-kitab mereka, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain.
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Implikasi adanya barang ribawi terhadap perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus di serahterimakan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 100.000,- dengan Rp. 100.000,- dan diserahkan ketika tukar menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang yang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp. 10.000 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan bukan barang ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
D. Konsep Riba dalam perspektif Non-Muslim Riba bukan hanya persoalan masyarakat muslim, tetapi juga kalangan diluar muslim pun memandang serius perihal riba ini. Kajian tentang riba dapat dirunut hingga lebih dari 2000 tahun silam.
1. Konsep Bunga dikalangan yahudi Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekan mengambil bunga, menurut kitab suci mereka, baik dalam Old Statement (perjanjian lama) maupun undang-undang Talmud, seperti Kitab exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan” “ Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebenkan bunga terhadapnya” Kitab Deutoronemy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan : “Janganlah engkau mebungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau papaun yang dapat dibungakan” Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: “ Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu, janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah engkau berikan dengan meminta riba”
2. Konsep Bunga dikalangan Yunani dan Romawi Pada masa Yunani, sekitar abad IV sebelum masehi hingga I masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannnya. Seperti contoh dalam table berikut: Pinjaman biasa Pinjaman Properti Pinjaman antar kota Pinjaman Perdagangan Industri 6% - 18% 6% - 12% 7% - 12% 12% - 18% Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum masehi hingga IV masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat “maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable). Pda masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada jaman Romawi, seperti berikut: Bunga Maksimal dibenarkan Bunga Pinjaman biasa di Roma Bunga untuk Wilayah (daerah taklukan Roma) Bunga Khusus Byzantium 8-12 % 4 – 12 % 6 – 100% 4 – 12% Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat terkemuka Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktek bunga, begitu pula dengan Cato ( 234 –149 SM) dan Cicero ( 106 – 43 SM).
Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga. Plato mengecam sistim bungan berdasarkan dua alasan:
a. Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
b. Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan alasan engatakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange, dan bukan sebagai alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga mendefinisikan bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaanya dari sesuatu yang belum pasti terjadi, dengan demikian pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil. Sedangkan Cicero memberi nasehat kepada anaknya untuk menghindari dua pekerjaan yaitu: memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Sedangkan Ceto memberikan ilustrasi perbedaan perniagaan dengan memberi pinjaman sebagai berikut:
a. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko, sedangkan memberi pinjaman dengan memberi pinjaman adalah sesuatu yang tidak pantas.
b. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Singkatnya para ahli filsafat memandang keji praktek bunga demikian pula pandangan masyarakat umum pada saat itu
3. Konsep Bunga di kalangan Kristen Kitab perjanjian baru tidak membahas masalah bunga secara jelas, namun sebagian kalangan kristiani menganggap ayat Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan: “ Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meinjamkan kepada orang berdosa., supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada merekan dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yanh Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”. Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan penafsiran dari para pemuka Kristen tentang boleh tidaknya orang Kristen mempraktekan bunga. Berbagai pandangan kalangan pemuka Kristen diogolongkan kedalam tiga kelompo, yaitu:
1. Pandangan para pendeta Awal Kristen (Abad I - XII) Pada masa ini umumnya pengambilan bunga dilarang, karena masih mengimani Kitab perjanjian Lama,
a. Si. Basuil (329-379). Menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan. Mengambil bunga adalah ; mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
b. St. Gregory dari Nyssa (333 – 395).Mengutuk praktek bunga karena , menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada saat membuat kontrak seperti membantu tapi pada saat menagih bertindak kejam.
c. St. John Chrysostom (344 –407). Larangan praktek riba bagi Kaum Yahudi juga berlaku bagi kaum Kristiani.
d. Demikian pula pendapat yang sama dari St.Ambrose, St. Agustine dan St. Anselm dari Centembury (1033-1109) Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh Gereja melaui Undang-Undang (Canon).
a. Council of Elvira ( Spanyol tahun 306), mengeluarkan Canon 20 yang melarang praktek bungan bagi para pekerja gereja, barang siapa yang melanggar maka pangkatnya akan diturunkan.
b. Council of Arles (tahun 314) Mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang praktek bungan bagi para pekerja gereja
c. First Council of Nicaea (tahun 325) Mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat pekerja gereja yang mempraktekan bunga.
d. Larangan mempraktekan bunga untuk umum dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311), dengan sangsi telah berbuat dosa dan keluar dari kristiani.
2. Pandangan para sarjana Kristen (Abad XII - XVI) Pada masa ini perekonomian telah berkembang pesat, transaksi secara kredit dan pemberian modal kerja telah biasa dilakukan. Para sarjana tidak hanya membahas masalah bunga dari sisi moral semata namun juga merujuk pada perjanjian lama maupun perjanjian baru. Mereka melakukan banyak terobosan dalam pendefiniasian bunga, hasilnya adalah memperhalus dan melegitimasi hukum. Bunga dibedakan menjadi usury dan interest. Menurut mereka interest adalah bunga yang dibolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para sarjana yang berperan adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), Sain Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan dari pendapat para sarjana tersebut adalah:
a. Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
b. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehka, namun haram dan tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
3. Pandangan para Reformis Kristen (Abad XVI – tahun 1836). Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain Jihn calvin (1509 –1564), Charles Du Moulin (1500-1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560) dan Zwingli (1484-1531). Calvin berpendapat :
a. Dosa apabila bunga memberatkan
b. Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles)
c. Tidak menjadikan mengambil uang sebagai profesi.
d. Jangan mengambil uang dari orang miskin. Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asal diguinakan untuk kepentingan produkstif. Saumise (pengikut Calvin), membenarkan semua pengambilan bunga termasuk kepada kaum miskin. Menurutnya menjual uang denga uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang dalam menggunakan uanganya untuk membuat uanag. Agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan uang.
E. Larangan Riba dalam Al Quran dan As Sunnah Ummat Islam melarang Riba apa pun jenisnya. Laranga tersebut bersumber pada Al Qur’an dan as Sunnah :
1. Larangan Riba dalam Al Qur’an.
2. Larangan Riba dalam Hadits F. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba. Meskipun sudah jelas Al Qur’an maupun as Sunnah yang secara tegas menyatakan keharaman Riba, namun masih saja ada beberapa cendikiawan yang mencoba pembenaran atas pengambilan bunga uang, Diantaranya alasan :
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya. Alasan darurat haruslah melalui pertimbangan yang komprehensif seperti yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, dan bukan istilah darurat menurut pengertian sehari-hari: Menurut Imam Suyuti, darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan suatu tindakan dengan cepat, makan akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian. Menurut literature klasik, keadaan emergency, dicontohkan seperti orang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi, yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua alasan:
“(173) Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (q.s. Al Baqarah:173) Sesuai ayat tersebut, para ulama merumuskan kaidah:
2. “darurat itu harus dibatasi kadarnya”. Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta batasan ukuran dan kadarnya. Misalnya jika dihutan tersebut ada sapi atau ayam maka darurat keharaman daging babi menjadi hilang, demikian pula dibolehkannya daging babi karena darurat, ketika memakannya tidak berlebihan.
3. hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan. Pendapat bahwa riba hanya jika berlipatganda dan memberatkan, terjadi karena adanya kekeliruan dalam menafsirkan ayat :
“(130) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Q.S: Ali Imran 130) Secara sepintas, seakan-akan hanya yang berlipat dan memberatkan, namun apabila pemahamannya dikaitkan dengan ayat yang lain dan memperhatikan tahap-tahapan pengharaman riba, maka dapat disimpulkan bahwa segala jenis riba diharamkan.Kata “ berlipat” merupakan sifat dari riba, dan bukan merupakan syarat, Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, dalam bukunya Riba dan transaksi Keuangan Dalam Pandangan Syariah Islam menegaskan :
“ Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus demikian banyak, Ayat ini menegaskan tettang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-lipat) menjadi sifat umum dari riba dalam terminology syara (Allah dan rasulnya). Dr. Sami Hasan Hamoud, dalam bukunya menjelaskan bahwa bangsa Arab disamping melakukan pinjam meminjam uang dan barang bergerk juga juga melakukannnya terhadap binatang ternak. Misalnya seseorang meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bin Makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (Bin Labun), jika meminjamkan bin labun, ia meminta kembalian haqqah (umur 4 tahun). Penafsiran terhadap ayat secara parsial tanpa mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah, demikian pula disiplin ilmu bayan, badie dan ma’anie, akan menimbulkan hasil penafsiran yang keliru. Ayat 130 Ali Imran yang diturunkan pada tahun ke 3 H, harus dipahami dengan ayat 278-279 surat Al Baqarah yang diturunkan pada tahun 9 H, yang menurut para ulama ayat tersebut merupakan ayat “sapu jagat” untuk menetapkan segala bentuk, ukuran, kadar dan jenis riba.
4. Bank sebagai lembaga, tidak termasuk kedalam mukallaf. Sehingga tidak terkena khitab ayat ayat dan hadits riba. Ada sebagian ulama berpendapat, bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di jazirah Arab yang belum ada bank tetapi hanya individu-individu. Dengan demikian bank BCA, Danamon atau bank Lippo tidak terkena hukum Taklif, karena pada masa nabi belum ada.
a. Pandangan bahwa pada masa pra Rasulullah tidak ada “badan hukum “ sama sekali adalah sangat keliru, Sejarah Romawi, Yunani, dan Persia menunjukkan ribua lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa.
b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badabn hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan. Dilihat dari sisi manfaat dan madharat, dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan akan lebih besar jika dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh individu. Kemampuan pengedar narkotik yang terorganisir jauh berdampak dibandingkan dengan tindakan perorangan, sehinga sangat naĆÆf jika kita mengatakan apapun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hokum taklif karena bukan insane mukallaf. Memang ia bukan insane mukallaf, namun melakukan tindakan (fi’il mukallaf) yang jauh lebih besar dan berbahaya dampaknya.Demikian juga dengan lembaga keuangan, tindakan rentenir yang bersifat individu memiliki hokum yang sama jika dilakukan secara kelembagaan (terorganisir).
G. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Tabel Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bunga Bagi Hasil Penentuan bungan dibuat pada waktu aqad dengan asumsi harus selalu untung Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan n oleh pihak peminjam untung atau rugi Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan,apabila rugi, kerugian akan ditanggung bersama demikian pula jika sebaliknya. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, sekalipun jumlah keuntungan berlipat. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah pendapatan investasi Eksistensi bunga diragukan (atau dikecam) oleh semua agama termasuk agama Islam Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil H. Berbagai Fatwa Tentang Riba.
Berikut adalah cuplikan beberapa fatwa para Ulama:
1. Majlis Tarjih Muhammadiyah a. Majlis Tarjih Sidoarjo (196 8) memutuskan:
(a) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur’an dan As Sunnah
(b) Bank dengan sistim riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
(c) Bunga yang diberikan bank-bank pemerintah kepada nasabahnya atau sebaliknya, selama ini berlaku termasuk perkara musytabihat
(d) Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistim perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam b. Majlis Tarjih Wiradesa Pekalongan (1972), Memutuskan
(a) Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Tarjih Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistim perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah syariah.
(b) Mendesak majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersbut dalam muktamar akan datang. Masalah keuangan ditetapka berdasarkan keputusan Muktamar Majlis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uanag atau harta, hak milik dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam dibahas dalam muktamar Majlis Tarjih Malang (1989) . Keputusannya koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam tidak termasuk riba, namun hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi. 2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama Melalui beberapa kali sidang, Menurut lajnah, hokum bank dan bunganya sama seperti hokum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan masalah ini.
a. Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Syubhat, sebab para ahli hokum berselisih tentangnya. Meskipun demikian, Lajnah memutuskan bahwa, pilihan yang berhati, hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank haram. Keputusan lebih lengkap, ditetapkan dalam sidang di Bandar lampung tahun 1982, sebagai berikut: Terjadi perbedaan pendapat tentang bunga bank sebagai berikut:
a. Bunga bank dan riba sama mutlak sehingga hukumya haram. Variasi pendapat didalamnya:
(a) Bunga bank dabn segala jenisnya hukumnya haram
(b) Bunga bank haram, namun sementara sistim bank Islam belum ada, hukumnya boleh dipungut
(c) Bunga bank haram, namun boleh dipungut karena ada kebutuhan yang kuat (hajah Rajihah)
b. Bunga bank dan riba berbeda sehingga hukumnya boleh. Variasi pendapat didalamnya:
(a) Bunga konsumsi sama dengan riba, bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
(b) Bunga giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal,
(c) Bunga deposito hukumnya boleh
(d) Bunga bank tidak haram jika menentukan tarifnya terlebih dahulu secara umum.
c. Bunga bank hukumnya subhat, Berhubung banyaknya pendapat tersebut, Lajnah mengusulkan jalan keluar sebagai berikut:
a. Sebelum tercapainya cita-cita tersebut hendaknya sistim perbankan sekarang diperbaiki
b. Perlu diatur konsep-konsep perhimpunan dan penyaluran dana yang sesuai dengan sistem perbankan Islam.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI), Dalam dua kali sidang OKI di Karachi dan Pakistan tahun 1970, menyepakati sebagai keputusan berikut:
a. Praktek bank dengan sistim bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam.
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keputusan inilah yang melatarbelakangi berdirinya Islamic Development Bank (IDB)
4. Mufti Negara Mesir Sejak tahun 1900 hingga 1989 mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank merupakan salah satu bentuk Riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia Ulama-ulama dunia yang tergabung kedalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hokum yang tegas tentang keharaman bunga bank konvensional.
I. Dampak Negatif Riba. Secara ringkas dampak negatif adanya sistim bunga dalam perekonomian adalah sebagai berikut:
a. Mendorong laju inflasi, akibat adanya biaya uang melalui bunga.
b. Semakin ketergantungannnya para penghutang kepada peminjam
c. Terhambatnya perkembangan sector riil
d. Adanya bentuk ketidak adilan dalam menanggung resiko investasi antara debitur (peminjam) dan kreditur (yang memberi pinjaman).
Riba secara bahasa bermakna : ziyadah, (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam penjelasan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 29;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(Q.S. An Nisa:29) Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an Menjelaskan : “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi penggnati atau penyeimbang yang dibenarkan syariah’; Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomissuatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, setelah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima sipeminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa adanya faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan bisa saja rugi.
Pengertian senada disampaikan juga oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqhiyah. Diantaranya:
1. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Sahih Bukhari.
2. Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi
3. Raghib Al Asfahani
4. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’I
5. Qatadah
6. Zaid Bin Aslam
7. Mujahid
8. Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah
9. Imam Ahmad Bin Hambal. Pendiri mazhab Hambali.
B. Jenis-jenis Riba. Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama dibagi lagi menjadi riba qardh dan riba Jahiliyah, sedangkan kelompok kedua terdiri dari riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqhtaridh)
2. Riba Jahiliyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena sipeminjam tidak mampu mebayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukatkan itu termasuk barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah. Penagguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
C. Jenis Barang Ribawi Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dalam kitab-kitab mereka, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lain.
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Implikasi adanya barang ribawi terhadap perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus di serahterimakan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 100.000,- dengan Rp. 100.000,- dan diserahkan ketika tukar menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang yang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp. 10.000 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan bukan barang ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
D. Konsep Riba dalam perspektif Non-Muslim Riba bukan hanya persoalan masyarakat muslim, tetapi juga kalangan diluar muslim pun memandang serius perihal riba ini. Kajian tentang riba dapat dirunut hingga lebih dari 2000 tahun silam.
1. Konsep Bunga dikalangan yahudi Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekan mengambil bunga, menurut kitab suci mereka, baik dalam Old Statement (perjanjian lama) maupun undang-undang Talmud, seperti Kitab exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan” “ Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebenkan bunga terhadapnya” Kitab Deutoronemy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan : “Janganlah engkau mebungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau papaun yang dapat dibungakan” Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: “ Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu, janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah engkau berikan dengan meminta riba”
2. Konsep Bunga dikalangan Yunani dan Romawi Pada masa Yunani, sekitar abad IV sebelum masehi hingga I masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannnya. Seperti contoh dalam table berikut: Pinjaman biasa Pinjaman Properti Pinjaman antar kota Pinjaman Perdagangan Industri 6% - 18% 6% - 12% 7% - 12% 12% - 18% Pada masa Romawi, sekitar abad V sebelum masehi hingga IV masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat “maksimal yang dibenarkan hukum” (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga (double countable). Pda masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktek tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada jaman Romawi, seperti berikut: Bunga Maksimal dibenarkan Bunga Pinjaman biasa di Roma Bunga untuk Wilayah (daerah taklukan Roma) Bunga Khusus Byzantium 8-12 % 4 – 12 % 6 – 100% 4 – 12% Meskipun demikian, praktek pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat terkemuka Plato (427 - 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktek bunga, begitu pula dengan Cato ( 234 –149 SM) dan Cicero ( 106 – 43 SM).
Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga. Plato mengecam sistim bungan berdasarkan dua alasan:
a. Bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
b. Bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan alasan engatakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange, dan bukan sebagai alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga mendefinisikan bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaanya dari sesuatu yang belum pasti terjadi, dengan demikian pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil. Sedangkan Cicero memberi nasehat kepada anaknya untuk menghindari dua pekerjaan yaitu: memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Sedangkan Ceto memberikan ilustrasi perbedaan perniagaan dengan memberi pinjaman sebagai berikut:
a. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai resiko, sedangkan memberi pinjaman dengan memberi pinjaman adalah sesuatu yang tidak pantas.
b. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat. Singkatnya para ahli filsafat memandang keji praktek bunga demikian pula pandangan masyarakat umum pada saat itu
3. Konsep Bunga di kalangan Kristen Kitab perjanjian baru tidak membahas masalah bunga secara jelas, namun sebagian kalangan kristiani menganggap ayat Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan: “ Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meinjamkan kepada orang berdosa., supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada merekan dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yanh Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”. Ketidak tegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan penafsiran dari para pemuka Kristen tentang boleh tidaknya orang Kristen mempraktekan bunga. Berbagai pandangan kalangan pemuka Kristen diogolongkan kedalam tiga kelompo, yaitu:
1. Pandangan para pendeta Awal Kristen (Abad I - XII) Pada masa ini umumnya pengambilan bunga dilarang, karena masih mengimani Kitab perjanjian Lama,
a. Si. Basuil (329-379). Menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan. Mengambil bunga adalah ; mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
b. St. Gregory dari Nyssa (333 – 395).Mengutuk praktek bunga karena , menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada saat membuat kontrak seperti membantu tapi pada saat menagih bertindak kejam.
c. St. John Chrysostom (344 –407). Larangan praktek riba bagi Kaum Yahudi juga berlaku bagi kaum Kristiani.
d. Demikian pula pendapat yang sama dari St.Ambrose, St. Agustine dan St. Anselm dari Centembury (1033-1109) Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh Gereja melaui Undang-Undang (Canon).
a. Council of Elvira ( Spanyol tahun 306), mengeluarkan Canon 20 yang melarang praktek bungan bagi para pekerja gereja, barang siapa yang melanggar maka pangkatnya akan diturunkan.
b. Council of Arles (tahun 314) Mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang praktek bungan bagi para pekerja gereja
c. First Council of Nicaea (tahun 325) Mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat pekerja gereja yang mempraktekan bunga.
d. Larangan mempraktekan bunga untuk umum dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311), dengan sangsi telah berbuat dosa dan keluar dari kristiani.
2. Pandangan para sarjana Kristen (Abad XII - XVI) Pada masa ini perekonomian telah berkembang pesat, transaksi secara kredit dan pemberian modal kerja telah biasa dilakukan. Para sarjana tidak hanya membahas masalah bunga dari sisi moral semata namun juga merujuk pada perjanjian lama maupun perjanjian baru. Mereka melakukan banyak terobosan dalam pendefiniasian bunga, hasilnya adalah memperhalus dan melegitimasi hukum. Bunga dibedakan menjadi usury dan interest. Menurut mereka interest adalah bunga yang dibolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para sarjana yang berperan adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), Sain Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274) dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan dari pendapat para sarjana tersebut adalah:
a. Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
b. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehka, namun haram dan tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
3. Pandangan para Reformis Kristen (Abad XVI – tahun 1836). Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain Jihn calvin (1509 –1564), Charles Du Moulin (1500-1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560) dan Zwingli (1484-1531). Calvin berpendapat :
a. Dosa apabila bunga memberatkan
b. Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles)
c. Tidak menjadikan mengambil uang sebagai profesi.
d. Jangan mengambil uang dari orang miskin. Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asal diguinakan untuk kepentingan produkstif. Saumise (pengikut Calvin), membenarkan semua pengambilan bunga termasuk kepada kaum miskin. Menurutnya menjual uang denga uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang dalam menggunakan uanganya untuk membuat uanag. Agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan uang.
E. Larangan Riba dalam Al Quran dan As Sunnah Ummat Islam melarang Riba apa pun jenisnya. Laranga tersebut bersumber pada Al Qur’an dan as Sunnah :
1. Larangan Riba dalam Al Qur’an.
2. Larangan Riba dalam Hadits F. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba. Meskipun sudah jelas Al Qur’an maupun as Sunnah yang secara tegas menyatakan keharaman Riba, namun masih saja ada beberapa cendikiawan yang mencoba pembenaran atas pengambilan bunga uang, Diantaranya alasan :
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya. Alasan darurat haruslah melalui pertimbangan yang komprehensif seperti yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, dan bukan istilah darurat menurut pengertian sehari-hari: Menurut Imam Suyuti, darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan suatu tindakan dengan cepat, makan akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian. Menurut literature klasik, keadaan emergency, dicontohkan seperti orang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi, yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan dua alasan:
“(173) Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (q.s. Al Baqarah:173) Sesuai ayat tersebut, para ulama merumuskan kaidah:
2. “darurat itu harus dibatasi kadarnya”. Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta batasan ukuran dan kadarnya. Misalnya jika dihutan tersebut ada sapi atau ayam maka darurat keharaman daging babi menjadi hilang, demikian pula dibolehkannya daging babi karena darurat, ketika memakannya tidak berlebihan.
3. hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan. Pendapat bahwa riba hanya jika berlipatganda dan memberatkan, terjadi karena adanya kekeliruan dalam menafsirkan ayat :
“(130) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Q.S: Ali Imran 130) Secara sepintas, seakan-akan hanya yang berlipat dan memberatkan, namun apabila pemahamannya dikaitkan dengan ayat yang lain dan memperhatikan tahap-tahapan pengharaman riba, maka dapat disimpulkan bahwa segala jenis riba diharamkan.Kata “ berlipat” merupakan sifat dari riba, dan bukan merupakan syarat, Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al Matruk, dalam bukunya Riba dan transaksi Keuangan Dalam Pandangan Syariah Islam menegaskan :
“ Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus demikian banyak, Ayat ini menegaskan tettang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-lipat) menjadi sifat umum dari riba dalam terminology syara (Allah dan rasulnya). Dr. Sami Hasan Hamoud, dalam bukunya menjelaskan bahwa bangsa Arab disamping melakukan pinjam meminjam uang dan barang bergerk juga juga melakukannnya terhadap binatang ternak. Misalnya seseorang meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bin Makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (Bin Labun), jika meminjamkan bin labun, ia meminta kembalian haqqah (umur 4 tahun). Penafsiran terhadap ayat secara parsial tanpa mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda Rasulullah, demikian pula disiplin ilmu bayan, badie dan ma’anie, akan menimbulkan hasil penafsiran yang keliru. Ayat 130 Ali Imran yang diturunkan pada tahun ke 3 H, harus dipahami dengan ayat 278-279 surat Al Baqarah yang diturunkan pada tahun 9 H, yang menurut para ulama ayat tersebut merupakan ayat “sapu jagat” untuk menetapkan segala bentuk, ukuran, kadar dan jenis riba.
4. Bank sebagai lembaga, tidak termasuk kedalam mukallaf. Sehingga tidak terkena khitab ayat ayat dan hadits riba. Ada sebagian ulama berpendapat, bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di jazirah Arab yang belum ada bank tetapi hanya individu-individu. Dengan demikian bank BCA, Danamon atau bank Lippo tidak terkena hukum Taklif, karena pada masa nabi belum ada.
a. Pandangan bahwa pada masa pra Rasulullah tidak ada “badan hukum “ sama sekali adalah sangat keliru, Sejarah Romawi, Yunani, dan Persia menunjukkan ribua lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa.
b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badabn hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan. Dilihat dari sisi manfaat dan madharat, dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan akan lebih besar jika dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh individu. Kemampuan pengedar narkotik yang terorganisir jauh berdampak dibandingkan dengan tindakan perorangan, sehinga sangat naĆÆf jika kita mengatakan apapun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hokum taklif karena bukan insane mukallaf. Memang ia bukan insane mukallaf, namun melakukan tindakan (fi’il mukallaf) yang jauh lebih besar dan berbahaya dampaknya.Demikian juga dengan lembaga keuangan, tindakan rentenir yang bersifat individu memiliki hokum yang sama jika dilakukan secara kelembagaan (terorganisir).
G. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Tabel Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bunga Bagi Hasil Penentuan bungan dibuat pada waktu aqad dengan asumsi harus selalu untung Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan n oleh pihak peminjam untung atau rugi Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan,apabila rugi, kerugian akan ditanggung bersama demikian pula jika sebaliknya. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat, sekalipun jumlah keuntungan berlipat. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah pendapatan investasi Eksistensi bunga diragukan (atau dikecam) oleh semua agama termasuk agama Islam Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil H. Berbagai Fatwa Tentang Riba.
Berikut adalah cuplikan beberapa fatwa para Ulama:
1. Majlis Tarjih Muhammadiyah a. Majlis Tarjih Sidoarjo (196 8) memutuskan:
(a) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur’an dan As Sunnah
(b) Bank dengan sistim riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
(c) Bunga yang diberikan bank-bank pemerintah kepada nasabahnya atau sebaliknya, selama ini berlaku termasuk perkara musytabihat
(d) Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistim perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam b. Majlis Tarjih Wiradesa Pekalongan (1972), Memutuskan
(a) Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk segera dapat memenuhi keputusan Tarjih Sidoarjo tahun 1968 tentang terwujudnya konsepsi sistim perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah syariah.
(b) Mendesak majlis Tarjih PP Muhammadiyah untuk dapat mengajukan konsepsi tersbut dalam muktamar akan datang. Masalah keuangan ditetapka berdasarkan keputusan Muktamar Majlis Tarjih Garut (1976). Keputusan tersebut menyangkut bahasan pengertian uanag atau harta, hak milik dan kewajiban pemilik uang menurut Islam. Adapun masalah koperasi simpan pinjam dibahas dalam muktamar Majlis Tarjih Malang (1989) . Keputusannya koperasi simpan pinjam hukumnya adalah mubah, karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan pinjam tidak termasuk riba, namun hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak melampaui laju inflasi. 2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama Melalui beberapa kali sidang, Menurut lajnah, hokum bank dan bunganya sama seperti hokum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan masalah ini.
a. Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Syubhat, sebab para ahli hokum berselisih tentangnya. Meskipun demikian, Lajnah memutuskan bahwa, pilihan yang berhati, hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank haram. Keputusan lebih lengkap, ditetapkan dalam sidang di Bandar lampung tahun 1982, sebagai berikut: Terjadi perbedaan pendapat tentang bunga bank sebagai berikut:
a. Bunga bank dan riba sama mutlak sehingga hukumya haram. Variasi pendapat didalamnya:
(a) Bunga bank dabn segala jenisnya hukumnya haram
(b) Bunga bank haram, namun sementara sistim bank Islam belum ada, hukumnya boleh dipungut
(c) Bunga bank haram, namun boleh dipungut karena ada kebutuhan yang kuat (hajah Rajihah)
b. Bunga bank dan riba berbeda sehingga hukumnya boleh. Variasi pendapat didalamnya:
(a) Bunga konsumsi sama dengan riba, bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
(b) Bunga giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal,
(c) Bunga deposito hukumnya boleh
(d) Bunga bank tidak haram jika menentukan tarifnya terlebih dahulu secara umum.
c. Bunga bank hukumnya subhat, Berhubung banyaknya pendapat tersebut, Lajnah mengusulkan jalan keluar sebagai berikut:
a. Sebelum tercapainya cita-cita tersebut hendaknya sistim perbankan sekarang diperbaiki
b. Perlu diatur konsep-konsep perhimpunan dan penyaluran dana yang sesuai dengan sistem perbankan Islam.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI), Dalam dua kali sidang OKI di Karachi dan Pakistan tahun 1970, menyepakati sebagai keputusan berikut:
a. Praktek bank dengan sistim bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam.
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keputusan inilah yang melatarbelakangi berdirinya Islamic Development Bank (IDB)
4. Mufti Negara Mesir Sejak tahun 1900 hingga 1989 mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank merupakan salah satu bentuk Riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia Ulama-ulama dunia yang tergabung kedalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hokum yang tegas tentang keharaman bunga bank konvensional.
I. Dampak Negatif Riba. Secara ringkas dampak negatif adanya sistim bunga dalam perekonomian adalah sebagai berikut:
a. Mendorong laju inflasi, akibat adanya biaya uang melalui bunga.
b. Semakin ketergantungannnya para penghutang kepada peminjam
c. Terhambatnya perkembangan sector riil
d. Adanya bentuk ketidak adilan dalam menanggung resiko investasi antara debitur (peminjam) dan kreditur (yang memberi pinjaman).
Demokrasi Dalam Pandangan Islam
A. Latar Belakang
Seringkali orang bertanya, kenapakah Agama dibawah ke dalam politik, hokum, demokrasi? Atau sebaliknya, kenapakah politik, hokum, demokrasi dibawah kedalam agama? Pertanyaan ini timbul kerena seringkali orang mengartikan bahwa yang dinamakan agama itu, hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama Islam itu sendiri, yang hakikatnya nyata adalah lebih dari itu. Islam tujuannya adalah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, Ketatanegaraan, pemerintah dan Perundang-undangan dan orang diberikan kemerdekaan dan mengemukakan pendirian dan suaranya dengan musyawarah bersama. Banyak pengamat melihat hubungan umat Islam dan pemerintah belakangan ini merasa tersingkirkan atau disingkirkan dari caturan politik, kini umat sebagai komunitas politik mulai mendapat akses untuk lebih banyak berperan dalam menentukan arah perjalanan Bangsa. Kiprah ICMI, kumpulan para cendikiawan muslim yang antara lain disebut sebagai manifestasi riil dari era baru bagi umat Islam.kelompok ini juga semakin leluasa untuk bergerak, baik demi kepentingan keagamaaan maupun untuk kepentingan pengembangan sumberdaya sosial ekonomi
B. Rumusan Masalah
a. Apakah faktor-faktor utama dari demokrasi itu?
b. Bagaimanakah seharusnya konsep demokrasi di Indonesia?
c. Bagaimanakah pemikiran umat islam tentang demokrasi?
d. Bagaimanakah demokrasi dalam pandangan islam?
e. Bagaimana pendapat Tokoh-tokoh politik tentang demokrasi?
C. Pendekatan yang Digunakan.
a. Studi Pendekatan Al-Qur’an Konsep musyawarah diterapkan Dalam Surat Ali Imran : 159 seperti dibawah ini : Fabimaa rahmatin minallahi linta lahum walaw kunta fazha qhalizhal kalbii laanfaddu minhaulika fa’fuanhum wastaghfiirlahum wasyaawirhum fiilamri faidza ‘azamtu fatawakkal ‘alallahi innallaha yuhibbul mutawakkilin . Artinya “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikapkeras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan ‘Bermusyawaralah’ dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertrakwalah kepada Allah. Sesunggunhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya .
b. Studi Pendekatan Sejarah Secara historis, Nabi Muhammad SAW selalu mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat dalam berbagai permasalahan baik itu dalam masalah pemerintahan, dan Nabi Muhammad SAW juga bermusyawarah dalam urusan keluarga.
D. Pembahasan Konsep Musyawarah atau Syura dapat berfungsi sebagai pagar pencegah munculnya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, diktatorisme, despotisme dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Menyikapi demokrasi didasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktik Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin, Mereka mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi Liberal atau Demokrasi Sosialis tanpa alasan, atau menerima konsep demokrasi dengan catatan masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan. Dengan kata lain, menerima demokrasi, tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
1. Faktor-faktor Utama Demokrasi
a. Format Politik Menjadi tugas kita semua lapisan masyarakat, juga para cendikiawan dan generasi muda, dikembangkannya format politik yang lebih demokratis dan aspiratif, sehingga wujud Demokrasi Pancasila yang kita inginkan makin terasa dan nyata. Pengertian format politik pada dasarnya bersifat instrumentatif dan karenanya memerlukan perbaikan dan penyempurnaan terus menerus. Sesuai dengan tekad Orde Baru yang selalu berupaya melakukan perbaikan dan penyempurnaan, maka sewajarnyalah format politik kita kembangkan sesuai dengan aspirasi nyata rakyat. Revisi terhadap format politik yang ada, tetap senantiasa mengacu pada pancasila dan UUD 1945, sehingga format politik yang bersifat Instrumental tersebut senantiasa tetap berada dalam bingkai nilai-nilai fundamental.
b. Persamaan dan Kebersamaan Konstruksi format politik yang selama ini dikembangkan masih bertumpuh pada tatanan politik Tradisional, yang memberi perlakuan khusus bagi terciptanya dan terpeliharanya sebuah format politik sebagai refleksi kecemasan masa lalu, dan keinginan pemerintahan yang stabil dengan topang terpeliharanya “single majority” yakni memperkokoh perlakuan khusus Secara protektif di satu pihak, sedang di pihak lain digelarkan serangkaian rambu, pagar-pagar pengaman untuk tidak berkembang. Perlakuan semacam itu sudah saatnya ditinggalkan bila kita ingin memberi makna kualitatif bagi wujud Demokrasi Pancasila, yang mengutamakan “Persamaan dan Kebersamaan” dan menolak prilaku diskriminatif.
c. Keterbukaan Keterbukaan dalam menampilkan puncak pemikiran-pemikiran alternatif yang terbaik dalam bidang politik akan memperkaya khazanah kehidupan politik rakyat, yakni keterbukaan yang sarat dengan semangat kekeluargaan, kebersamaan, yang memiliki antisipasi wawasan kedepan. Keterbukaan yang mampu menerima pemikiran-pemikiran yang terbaik, tanpa dibayangi sikap orogansi atau keangkuhan golongan.
d Sistem Politik Pluralistik dan Infrastruktur Politik Kita harus mengembangkan sistem politik pluralistik yang dinamis dan mandiri, yang tidak status QUO. Tiap organisasi kekuatan sosial politik dibiarkan berkembang secara mandiri, bebas dari payung politik protektif. Biarkan mereka berkembang menurut potensi, kapabilitas, ekseptabilitas serta dukungan nyata, dinamis, terbuka, tanpa kemestian adanya single majority. Melalui alur Infrastruktur politik terjadi rekruitmen, resperensi dan nominasi para pelaku dilingkungan supra-struktur politik. Oleh karena itu, kualitas, integritas, efektivitas infrastruktur politik perlu terus dijaga dan dipelihara agar mampu memberi imbas/resonasi positif pada strata supra-struktur.
e. Clean Goverment dan Negara Kekeluargaan Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, harus benar-benar mengabdi bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, bukan abdi golongan. Menempatkan aparat birokrasi dibawah manajemen dan kendali kekuatan sosial politik tertentu akan menimbulkan dampak negatif bagi akurasi sistem pengawasan nasional, serta berkembangnya inefisiensi dan pemborosan. Aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa memerlukan tegaknya disiplin dengan membebaskan diri dari prilaku ‘Flantropis’ kekuatan sosial politik pengendali, yang Secara administratif dan konsitusional diluar acuannya.
f. Budaya Politik Emansipatif, Partisipatif dan Terbuka Upaya membangun budaya politik Emansipatif, Partisipatif dan Keterbukaan belum sepenuhnya terwujud. Budaya politik emansipatif diperlukan bagi berkembangnya iklim yang segar dimana seluruh lapisan masyrakat menikmati perlakuan yang sama sederajat dan adil dalam kedudukannya sebagai warga negara
2. Konsep Demokrasi di Indonesia Konsep demokrasi di Indonesia seharusnya berdasarkan konsep Musyawarah sebab konsep Musyawarah atau Syura dapat berfungsi sebagai pagar pencegah munculnya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, diktatorisme, despotisme dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Partisipasi rakyat di hormati, karena mereka pada hakikatnya adalah pemilik Negara. Mereka seolah-olah menerima mandat dan amanat dari Tuhan, sementara pemimpn hanyalah pelayan Rakyat. Musyawarah atau Syura dan mekanisme pengambilan keputusan melalui konsensus dan dalam hal-hal tertentu bila tidak tercapai suatu konsensus bisa di lakukan dengan voting, merupakan salah satu manifestasi dan refleksi dari tegaknya prinsip kedaulatan rakyat. Meskipun Secara factual musyawarah dilakukan oleh suatu kelompok terbatas, hal ini dalam sistem demokrasi tetap di anggap legitimate dan bahkan rasional. Karena Secara factual pula tidak mungkin melibatkan musyawarah terbuka dan mengambil keputusan yang berdaya jangkau Nasional.
3. Pemikiran Umat Islam tentang Demokrasi Secara teologis para intelektual muslim Indonesia, menyikapi demokrasi didasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktik Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin, Mereka mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi Liberal atau Demokrasi Sosialis tanpa alasan, atau menerima konsep demokrasi dengan catatan masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan. Dengan kata lain, menerima demokrasi, tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat.
4. Demokrasi dalam Pandangan Islam. musyawarah adalah demokrasi yang sesuai dengan ajaran islam baik konsep maupun praktik walaupun tidak harus menyebutnya “demokrasi islam” dan apabila dikaji Secara mendalam pada diskursus pemikiran teologis maka kedaulatan adalah di tangan Tuhan atau “kedaulatan Tuhan” (akan tetapi kalau di kaji berdasar wacana diskursus pemikiran politik, hal ini cenderung pada paham teokrasi atau teo-demokrasi; lawan dari demokrasi) sedangkan demokrasi, suatu doktrin atau system politik sekuler yang kedaulatannya berada di tangan rakyat atau “kedaulatan rakyat” yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people) Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia, merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu menyatukan cita-ideal manusia sejagad, karena wacana demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama dan kebudyaan. Kekuatan wacana demokrasi sesunguhnya bukan hanya terletak pada kemampuannya untuk melintasi batas geografis dan primordial di atas, tetapi juga karena telah di terimanya sistem ini Secara luas, baik pada level infrastruktur Negara. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas tatapi juga mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan keadilan, kebebasan, pluralisme, walaupun konsep-konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya Negara tertentu.
5. Pendapat Tokoh-tokoh Politik tentang Demokrasi 1. Amien Rais Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an (Ali Imran 3:159 dan As-Syura 42:3 8) tentang Musyawarah atau Syura, Amien Rais dengan tegas menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan prinsip dasar penolakan terhadap Elitisme. Menurut Amin, mungkin benar mereka yang mengatakan bahwa musyawarah atau syura dapat di sebut demokrasi, tetapi Amin Secara sengaja berusaha mengelak untuk tidak menggunakan istilah demokrasi dalam konteks sistem politik Islam. Karena menurutnya, istilah demokrasi saat ini menjadi konsep yang di salah pahami, dalam pengertian bahwa beberapa negara, yang banyak atau sedikit anti-demokrasi, dapat menyebut sistem mereka demokratis.Tetapi hanya mengemukakan bahwa istilah demokrasi dewasa ini telah di salah pahami sesuai dengan kepentingan politik rezim tertentu. Amin mengemukakan tiga alasan dalam penerimaannya terhadap demokrasi :
1. Secara konsep dasar, al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka
2. Secara historis, Nabi mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat
3. Secara Rasional, umat islam di perintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka, Itu menunjukkan bahwa sistem politik yang demokratis adalah bentuk tertinggi mengenai sistem politik dalam sejarah umat manusia Sebagai realisasinya, kemudian di buat lembaga perwakilan rakyat ( Parlemen) yang anggota-anggotanya dipilih oleh semua warga Negara Secara bebas, langsung, jujur dan adil. Institusi perwakilan rakyat inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan politik yang disesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat pada kurun waktu terbatas dan tertentu.
2. Abdurahman Wahid Abdurahman wahid menegaskan bahwa demokrasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi bukan saja demokrasi sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal tidak Ekspoloitatif, tetapi demokrasi sangat mendukung tegaknya pluralisme bangsa. Dalam demokrasi, pluralisme tidak semata-mata sebagai suatu yang human, tetapi juga karunia Allah yang bersifat permanen (Sunnatullah) karena tanpa pluralisme sejarah dan peradaban manusia akan tidak produktif, bahkan kehilangan perspektifnya yang bersifat dinamis dan dialektis. Abdurahman Wahid mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam dan implementasi islam sebagai etika sosial dalam kehidupan Negara pluralistik mengandung implikasi bahwa dalam konteks Demokrasi Islam “tidak” di tempatkan sebagai ideology alternatif seperti memposisikan “Syari’ah” dalam posisi berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi islam terhadap demokrasi bisa di capai bila dari ajaran islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah (Syura” kebebasan dan rule of law, karena islam dalam satu aspeknya merupakan agama hukum)
3. Nurcholis Madjid Nurcholis Madjid mengemukakan pandangannya bahwa nilai-nilai islam dan nilali-nilai demokrasi adalah bertentangan dari sumber (Ajaran v.s Paham Barat) tetapi ia melihat kesesuaian antara islam (musyawarah) dan demokrasi. Untuk persoalan-persoalan yang rinci dan praktis, manusia di beri kebebasan melakukan ijtihad. Dalam mekanisme sosial politik, ijtihad menghasilkan demokrasi yang tentu saja dirangkum dari diskusi-diskusi dan argument-argumen. Karena keterbatasan-keterbatasan manusia, ijtihad harus dilakukan Secara kolektif dan demokratis, khususnya dalam persoalan-persoalan yang menyangkut urusan publik, dan memohon kepada Tuhan untuk membimbing hamba-Nya “kejalan yang lurus” Maka menurut pemikiran Tokoh-tokoh ini mereka menerima dan bahkan mendukung demokrasi dalam pengertian tataran realisme politik, karena penerimaan mereka semata-mata dalam pengertian praktis kontemporer. Namun dalam pengertian filosofis, mereka masih mengakui supremasi perintah Tuhan (syari’ah) sebagai standar dasar yang dianggap dan diyakini sebagai sumber kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
E. Referensi Abdurahman Wahid. dan Amien Rais. 1996. Islam Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Hasbih, Artani, 2001 Musyawarah dan Demokrasi Jakarta Selatan : Gaya Media Pratama Saefuddin, Am, 1996 Ijtihad Politik oleh Cendikiawan Muslim Jakarta: Gema Insani Press Sunarso dkk 2004 pendidikan kewarganegaraan
Seringkali orang bertanya, kenapakah Agama dibawah ke dalam politik, hokum, demokrasi? Atau sebaliknya, kenapakah politik, hokum, demokrasi dibawah kedalam agama? Pertanyaan ini timbul kerena seringkali orang mengartikan bahwa yang dinamakan agama itu, hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama Islam itu sendiri, yang hakikatnya nyata adalah lebih dari itu. Islam tujuannya adalah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, Ketatanegaraan, pemerintah dan Perundang-undangan dan orang diberikan kemerdekaan dan mengemukakan pendirian dan suaranya dengan musyawarah bersama. Banyak pengamat melihat hubungan umat Islam dan pemerintah belakangan ini merasa tersingkirkan atau disingkirkan dari caturan politik, kini umat sebagai komunitas politik mulai mendapat akses untuk lebih banyak berperan dalam menentukan arah perjalanan Bangsa. Kiprah ICMI, kumpulan para cendikiawan muslim yang antara lain disebut sebagai manifestasi riil dari era baru bagi umat Islam.kelompok ini juga semakin leluasa untuk bergerak, baik demi kepentingan keagamaaan maupun untuk kepentingan pengembangan sumberdaya sosial ekonomi
B. Rumusan Masalah
a. Apakah faktor-faktor utama dari demokrasi itu?
b. Bagaimanakah seharusnya konsep demokrasi di Indonesia?
c. Bagaimanakah pemikiran umat islam tentang demokrasi?
d. Bagaimanakah demokrasi dalam pandangan islam?
e. Bagaimana pendapat Tokoh-tokoh politik tentang demokrasi?
C. Pendekatan yang Digunakan.
a. Studi Pendekatan Al-Qur’an Konsep musyawarah diterapkan Dalam Surat Ali Imran : 159 seperti dibawah ini : Fabimaa rahmatin minallahi linta lahum walaw kunta fazha qhalizhal kalbii laanfaddu minhaulika fa’fuanhum wastaghfiirlahum wasyaawirhum fiilamri faidza ‘azamtu fatawakkal ‘alallahi innallaha yuhibbul mutawakkilin . Artinya “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikapkeras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan ‘Bermusyawaralah’ dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertrakwalah kepada Allah. Sesunggunhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya .
b. Studi Pendekatan Sejarah Secara historis, Nabi Muhammad SAW selalu mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat dalam berbagai permasalahan baik itu dalam masalah pemerintahan, dan Nabi Muhammad SAW juga bermusyawarah dalam urusan keluarga.
D. Pembahasan Konsep Musyawarah atau Syura dapat berfungsi sebagai pagar pencegah munculnya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, diktatorisme, despotisme dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Menyikapi demokrasi didasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktik Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin, Mereka mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi Liberal atau Demokrasi Sosialis tanpa alasan, atau menerima konsep demokrasi dengan catatan masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan. Dengan kata lain, menerima demokrasi, tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
1. Faktor-faktor Utama Demokrasi
a. Format Politik Menjadi tugas kita semua lapisan masyarakat, juga para cendikiawan dan generasi muda, dikembangkannya format politik yang lebih demokratis dan aspiratif, sehingga wujud Demokrasi Pancasila yang kita inginkan makin terasa dan nyata. Pengertian format politik pada dasarnya bersifat instrumentatif dan karenanya memerlukan perbaikan dan penyempurnaan terus menerus. Sesuai dengan tekad Orde Baru yang selalu berupaya melakukan perbaikan dan penyempurnaan, maka sewajarnyalah format politik kita kembangkan sesuai dengan aspirasi nyata rakyat. Revisi terhadap format politik yang ada, tetap senantiasa mengacu pada pancasila dan UUD 1945, sehingga format politik yang bersifat Instrumental tersebut senantiasa tetap berada dalam bingkai nilai-nilai fundamental.
b. Persamaan dan Kebersamaan Konstruksi format politik yang selama ini dikembangkan masih bertumpuh pada tatanan politik Tradisional, yang memberi perlakuan khusus bagi terciptanya dan terpeliharanya sebuah format politik sebagai refleksi kecemasan masa lalu, dan keinginan pemerintahan yang stabil dengan topang terpeliharanya “single majority” yakni memperkokoh perlakuan khusus Secara protektif di satu pihak, sedang di pihak lain digelarkan serangkaian rambu, pagar-pagar pengaman untuk tidak berkembang. Perlakuan semacam itu sudah saatnya ditinggalkan bila kita ingin memberi makna kualitatif bagi wujud Demokrasi Pancasila, yang mengutamakan “Persamaan dan Kebersamaan” dan menolak prilaku diskriminatif.
c. Keterbukaan Keterbukaan dalam menampilkan puncak pemikiran-pemikiran alternatif yang terbaik dalam bidang politik akan memperkaya khazanah kehidupan politik rakyat, yakni keterbukaan yang sarat dengan semangat kekeluargaan, kebersamaan, yang memiliki antisipasi wawasan kedepan. Keterbukaan yang mampu menerima pemikiran-pemikiran yang terbaik, tanpa dibayangi sikap orogansi atau keangkuhan golongan.
d Sistem Politik Pluralistik dan Infrastruktur Politik Kita harus mengembangkan sistem politik pluralistik yang dinamis dan mandiri, yang tidak status QUO. Tiap organisasi kekuatan sosial politik dibiarkan berkembang secara mandiri, bebas dari payung politik protektif. Biarkan mereka berkembang menurut potensi, kapabilitas, ekseptabilitas serta dukungan nyata, dinamis, terbuka, tanpa kemestian adanya single majority. Melalui alur Infrastruktur politik terjadi rekruitmen, resperensi dan nominasi para pelaku dilingkungan supra-struktur politik. Oleh karena itu, kualitas, integritas, efektivitas infrastruktur politik perlu terus dijaga dan dipelihara agar mampu memberi imbas/resonasi positif pada strata supra-struktur.
e. Clean Goverment dan Negara Kekeluargaan Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, harus benar-benar mengabdi bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, bukan abdi golongan. Menempatkan aparat birokrasi dibawah manajemen dan kendali kekuatan sosial politik tertentu akan menimbulkan dampak negatif bagi akurasi sistem pengawasan nasional, serta berkembangnya inefisiensi dan pemborosan. Aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa memerlukan tegaknya disiplin dengan membebaskan diri dari prilaku ‘Flantropis’ kekuatan sosial politik pengendali, yang Secara administratif dan konsitusional diluar acuannya.
f. Budaya Politik Emansipatif, Partisipatif dan Terbuka Upaya membangun budaya politik Emansipatif, Partisipatif dan Keterbukaan belum sepenuhnya terwujud. Budaya politik emansipatif diperlukan bagi berkembangnya iklim yang segar dimana seluruh lapisan masyrakat menikmati perlakuan yang sama sederajat dan adil dalam kedudukannya sebagai warga negara
2. Konsep Demokrasi di Indonesia Konsep demokrasi di Indonesia seharusnya berdasarkan konsep Musyawarah sebab konsep Musyawarah atau Syura dapat berfungsi sebagai pagar pencegah munculnya penyelewengan Negara ke arah otoritarianisme, diktatorisme, despotisme dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Partisipasi rakyat di hormati, karena mereka pada hakikatnya adalah pemilik Negara. Mereka seolah-olah menerima mandat dan amanat dari Tuhan, sementara pemimpn hanyalah pelayan Rakyat. Musyawarah atau Syura dan mekanisme pengambilan keputusan melalui konsensus dan dalam hal-hal tertentu bila tidak tercapai suatu konsensus bisa di lakukan dengan voting, merupakan salah satu manifestasi dan refleksi dari tegaknya prinsip kedaulatan rakyat. Meskipun Secara factual musyawarah dilakukan oleh suatu kelompok terbatas, hal ini dalam sistem demokrasi tetap di anggap legitimate dan bahkan rasional. Karena Secara factual pula tidak mungkin melibatkan musyawarah terbuka dan mengambil keputusan yang berdaya jangkau Nasional.
3. Pemikiran Umat Islam tentang Demokrasi Secara teologis para intelektual muslim Indonesia, menyikapi demokrasi didasarkan pada konsep musyawarah dalam Al-Qur’an, praktik Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin, Mereka mempunyai pandangan tersendiri tentang demokrasi, bukan hanya menyatakan menolak demokrasi Liberal atau Demokrasi Sosialis tanpa alasan, atau menerima konsep demokrasi dengan catatan masih mengakui kedaulatan di tangan Tuhan. Dengan kata lain, menerima demokrasi, tetapi pada dasarnya menyatakan kedaulatan di tangan Tuhan sebagai pengganti kedaulatan rakyat.
4. Demokrasi dalam Pandangan Islam. musyawarah adalah demokrasi yang sesuai dengan ajaran islam baik konsep maupun praktik walaupun tidak harus menyebutnya “demokrasi islam” dan apabila dikaji Secara mendalam pada diskursus pemikiran teologis maka kedaulatan adalah di tangan Tuhan atau “kedaulatan Tuhan” (akan tetapi kalau di kaji berdasar wacana diskursus pemikiran politik, hal ini cenderung pada paham teokrasi atau teo-demokrasi; lawan dari demokrasi) sedangkan demokrasi, suatu doktrin atau system politik sekuler yang kedaulatannya berada di tangan rakyat atau “kedaulatan rakyat” yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people) Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia, merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu menyatukan cita-ideal manusia sejagad, karena wacana demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama dan kebudyaan. Kekuatan wacana demokrasi sesunguhnya bukan hanya terletak pada kemampuannya untuk melintasi batas geografis dan primordial di atas, tetapi juga karena telah di terimanya sistem ini Secara luas, baik pada level infrastruktur Negara. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas tatapi juga mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan keadilan, kebebasan, pluralisme, walaupun konsep-konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya Negara tertentu.
5. Pendapat Tokoh-tokoh Politik tentang Demokrasi 1. Amien Rais Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an (Ali Imran 3:159 dan As-Syura 42:3 8) tentang Musyawarah atau Syura, Amien Rais dengan tegas menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan prinsip dasar penolakan terhadap Elitisme. Menurut Amin, mungkin benar mereka yang mengatakan bahwa musyawarah atau syura dapat di sebut demokrasi, tetapi Amin Secara sengaja berusaha mengelak untuk tidak menggunakan istilah demokrasi dalam konteks sistem politik Islam. Karena menurutnya, istilah demokrasi saat ini menjadi konsep yang di salah pahami, dalam pengertian bahwa beberapa negara, yang banyak atau sedikit anti-demokrasi, dapat menyebut sistem mereka demokratis.Tetapi hanya mengemukakan bahwa istilah demokrasi dewasa ini telah di salah pahami sesuai dengan kepentingan politik rezim tertentu. Amin mengemukakan tiga alasan dalam penerimaannya terhadap demokrasi :
1. Secara konsep dasar, al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka
2. Secara historis, Nabi mempraktikkan Musyawarah dengan para sahabat
3. Secara Rasional, umat islam di perintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka, Itu menunjukkan bahwa sistem politik yang demokratis adalah bentuk tertinggi mengenai sistem politik dalam sejarah umat manusia Sebagai realisasinya, kemudian di buat lembaga perwakilan rakyat ( Parlemen) yang anggota-anggotanya dipilih oleh semua warga Negara Secara bebas, langsung, jujur dan adil. Institusi perwakilan rakyat inilah yang bermusyawarah untuk mengambil keputusan politik yang disesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat pada kurun waktu terbatas dan tertentu.
2. Abdurahman Wahid Abdurahman wahid menegaskan bahwa demokrasi menjadi suatu keharusan yang wajib dipenuhi bukan saja demokrasi sangat memungkinkan terbentuknya suatu pola interaksi dan relasi politik yang equal tidak Ekspoloitatif, tetapi demokrasi sangat mendukung tegaknya pluralisme bangsa. Dalam demokrasi, pluralisme tidak semata-mata sebagai suatu yang human, tetapi juga karunia Allah yang bersifat permanen (Sunnatullah) karena tanpa pluralisme sejarah dan peradaban manusia akan tidak produktif, bahkan kehilangan perspektifnya yang bersifat dinamis dan dialektis. Abdurahman Wahid mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam dan implementasi islam sebagai etika sosial dalam kehidupan Negara pluralistik mengandung implikasi bahwa dalam konteks Demokrasi Islam “tidak” di tempatkan sebagai ideology alternatif seperti memposisikan “Syari’ah” dalam posisi berhadapan dengan kedaulatan rakyat. Kontribusi islam terhadap demokrasi bisa di capai bila dari ajaran islam ditarik sejumlah prinsip universalnya seperti persamaan, keadilan, musyawarah (Syura” kebebasan dan rule of law, karena islam dalam satu aspeknya merupakan agama hukum)
3. Nurcholis Madjid Nurcholis Madjid mengemukakan pandangannya bahwa nilai-nilai islam dan nilali-nilai demokrasi adalah bertentangan dari sumber (Ajaran v.s Paham Barat) tetapi ia melihat kesesuaian antara islam (musyawarah) dan demokrasi. Untuk persoalan-persoalan yang rinci dan praktis, manusia di beri kebebasan melakukan ijtihad. Dalam mekanisme sosial politik, ijtihad menghasilkan demokrasi yang tentu saja dirangkum dari diskusi-diskusi dan argument-argumen. Karena keterbatasan-keterbatasan manusia, ijtihad harus dilakukan Secara kolektif dan demokratis, khususnya dalam persoalan-persoalan yang menyangkut urusan publik, dan memohon kepada Tuhan untuk membimbing hamba-Nya “kejalan yang lurus” Maka menurut pemikiran Tokoh-tokoh ini mereka menerima dan bahkan mendukung demokrasi dalam pengertian tataran realisme politik, karena penerimaan mereka semata-mata dalam pengertian praktis kontemporer. Namun dalam pengertian filosofis, mereka masih mengakui supremasi perintah Tuhan (syari’ah) sebagai standar dasar yang dianggap dan diyakini sebagai sumber kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain nilai-nilai demokrasi diterapkan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah, sedangkan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah atau syura adalah bagian integral dari realitas iman tauhid yang murni.
E. Referensi Abdurahman Wahid. dan Amien Rais. 1996. Islam Demokrasi Atas Bawah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. Hasbih, Artani, 2001 Musyawarah dan Demokrasi Jakarta Selatan : Gaya Media Pratama Saefuddin, Am, 1996 Ijtihad Politik oleh Cendikiawan Muslim Jakarta: Gema Insani Press Sunarso dkk 2004 pendidikan kewarganegaraan
Mudharabah
1. Pengertian
mudharabah berasal dari kata dharb, artinya mwemukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis , Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelolah. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalian si pengelola. Seandainya kerugian itu disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola , maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2. Landasan Syari’ah secara umum landasan dasar syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat-ayat dan hadis berikut ini:
A. Al-Qur’an “………dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah………” (Q.S Al-Muzammil: 20) Yang menjadi Wajhud –dilalah atau argument dari Qur’an Surat Al-Muzammil: 20 di atas adalah adanya kata Yadhribun yang sama dengan akar kata Mudharabah, dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha. “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S Al-Jumuah: 10)
B. Hadits “diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-ayrat tersebut kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).
C. Ijma’ Imam zailai, dalam kitabnya Nasbu ar Rayah(4/13), telah menyatakan bahwa para Sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah, kesepakatan para Shahabat ini sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu Ubaid dalam kitab Al amwal (454)
3. jenis-jenis Al-Mudharabah secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
A. Mudharabah Muthlaqah Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentik kerja sama antara shohibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh sfesifikasi jenis usaha, waktu, dan ndaerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama Salaf ash Shalih seringkali dicontohkan dengan ungkapan If al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shihibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
B. Mudharabah Muqayyadah Mudharabah Muqayyadah atau di sebut juga dengan istilah restricted mudharabah/sfecified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib di batasi dengan batsan jenis usaha , waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecendrungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
4. Aplikasi dalam Perbankan Al-Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, Al-mudharabah diterapkan pada:
A. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan Qurban, dan sebagainya.
B. Deposito biasa
C. Deposito special (Special investment) dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja. Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
1. pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
2. investasi khusus: disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-ayarat yang telah ditetapkan oleh shohibul maal.
5. Manfaat mudharabah
A. manfaat mudharabah
1. bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2. bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3. pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow?arus kas usaha bank, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. bank akan lebih selektif dan hati-hati(prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. prinsip bagi hasil dalam mudharabah/Al musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
6. Risiko Al-mudharabah Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi. Diantaranya:
A. side treaming: nasabag menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
B. Lalai dan kesalahan yang disengaja
C. Penyembunyaian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
mudharabah berasal dari kata dharb, artinya mwemukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis , Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelolah. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalian si pengelola. Seandainya kerugian itu disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola , maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2. Landasan Syari’ah secara umum landasan dasar syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat-ayat dan hadis berikut ini:
A. Al-Qur’an “………dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah………” (Q.S Al-Muzammil: 20) Yang menjadi Wajhud –dilalah atau argument dari Qur’an Surat Al-Muzammil: 20 di atas adalah adanya kata Yadhribun yang sama dengan akar kata Mudharabah, dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha. “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S Al-Jumuah: 10)
B. Hadits “diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-ayrat tersebut kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun membolehkannya.”(HR. Thabrani).
C. Ijma’ Imam zailai, dalam kitabnya Nasbu ar Rayah(4/13), telah menyatakan bahwa para Sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah, kesepakatan para Shahabat ini sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu Ubaid dalam kitab Al amwal (454)
3. jenis-jenis Al-Mudharabah secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
A. Mudharabah Muthlaqah Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentik kerja sama antara shohibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh sfesifikasi jenis usaha, waktu, dan ndaerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama Salaf ash Shalih seringkali dicontohkan dengan ungkapan If al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shihibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
B. Mudharabah Muqayyadah Mudharabah Muqayyadah atau di sebut juga dengan istilah restricted mudharabah/sfecified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib di batasi dengan batsan jenis usaha , waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecendrungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
4. Aplikasi dalam Perbankan Al-Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, Al-mudharabah diterapkan pada:
A. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan Qurban, dan sebagainya.
B. Deposito biasa
C. Deposito special (Special investment) dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja. Sedangkan pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
1. pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
2. investasi khusus: disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-ayarat yang telah ditetapkan oleh shohibul maal.
5. Manfaat mudharabah
A. manfaat mudharabah
1. bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2. bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3. pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow?arus kas usaha bank, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. bank akan lebih selektif dan hati-hati(prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5. prinsip bagi hasil dalam mudharabah/Al musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
6. Risiko Al-mudharabah Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi. Diantaranya:
A. side treaming: nasabag menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
B. Lalai dan kesalahan yang disengaja
C. Penyembunyaian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
Musyarakah
1. Pengetian Musyarakah adalah akad kerja sama atau pencampuran antara dua piak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang disepakati dan resiko akan ditanggung sesuai porsi kerja sama.
Dalil Al-Qur’an tentang musyarakah adalah : An-Nisa :12
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)
[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
2. Jenis-jenis musyarakah:
1. Syirkah mufawadah Yaitu kerja sama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang sama. Syirkah mufawadah mengahruskan :
a. Keidentikan penyertaan modal dari setiap anggota
b. Setiap anggota menjadi wakil atau kafil (guarantor) bagi partner lainnya. Untuk keaktifan semua anggota dalam pengelolaan usaha yang wajib.
c. Pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan atas besarnya modal masing-masing Karena ketatnya syarat-syarat bentuk syirkah ini, mufawadah hanya dapat diterapkan dalam keenam produk usaha diatas kalau semua pihak aktif langsung dalam pengelolaan dan menyertakan dana rasio yang sama
2. Syirkah Al-‘Inan Yaitu kerja sama atau percampuran dana anatara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang tidak mesti sama. Syirkah ‘inan atau limited company mempunyai karakter sebagai berikut:
a. besarnya modal anggota tidak harus sama
b. masih setiap anggota mempunyai hak untuk aktif dalam pengelolaan usaha, ia juga dapat menggugurkan haknya.
c. Pembagian keuntungan dapat didasarkan atas persentase modal masing-masing, tetapi dapat pula atas dasar negosiasi. Hal ini diperkenankan karena adanya kemungkinan tambahan kerja, atau penanggung resiko dari salah satu pihak.
d. Kerugian dan keuntungan sesuai dengan porsi modal. Jadi, syirkah inan merupakan bentuk perkongsian yang paling banyak diterapkan dalam dunia bisnis, hal ini karena sifatnya fleksible. Contoh syirkah ‘Inan : PT. Bank, Koperasi, leasing, join venture, equity participation, special investment, descreasing participation dan letter of kredit.
3. Syirkah wujuh Yaitu kerja sama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkah wujuh dinamakan demikian karena syirkah ini hanya mengandalkan wujuh (wibawah dan nama baik) para anggota, pembagian untung rugi dilakukan secara negosiasi diantara para anggota. Sesuai dengan pengertian diatas, syirkah wujuh dapat diterapkan dalam :
a. suatu kelompok nasabah yang terbentuk dalam suatu perkongsian dan mendapat kepercayaan dari Bank untuk suatu proyek tertentu. Dalam kredit ini pihak debitur tidak menyediakan kolateal atau apapun kecuali wujuh mereka.
b. Suatu perkongsian antara para pedagan yang membeli dengan kredit dan menjual dengan tunai
4. Syirkah ‘abdan Yaitu kerja sama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua pihak atau lebih (kerja sama profesi). Contoh perkongsian ini antara lain: - beberapa penjahit yang membuka toko jahit mengerjakan pesanan secara bersama - perkongsian antara insinyur listrik, tukang kayu, piƱata taman, toko bangunan dalam suatu kontrak pembangunan rumah.
5. Syirkah Al-Mudharabah Yaitu kerja sama atu percampuran dana antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki profesionalisme atau tenaga. Dasar Al-Qur’an tentang Mudahrabah: Al Muzammil: 20.
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Al-Jumu’ah:10.
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Al-Baqarah:198
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
3. Rukun-rukun Musyarakah:
a. Para pihak yang berstirkah.
b. Porsi kerjasama.
c. Proyek/usaha (masyru’)
d. Ijab qabul {sighat).
e. Nisbah bagi hasil
4. produk pembiayaan musyarakah dan resikonya Produk Pembiayaan Musyarakah Dan Risiko-Risikonya NPM 91205003 Penulis ISWIYANTI, Agus Sri Pembimbing Budihardjo Suhondo, Drs., MM Tahun Sidang 2007 Call Number 332.1 Isw p Subyek Abstraksi Agus Sri Iswiyanti, 91205003 Produk Pembiayaan Musyarakah Dan Risiko-Risikonya Tesis, Jurusan Perbankan, Universitas Gunadarma, 2007 Kata Kunci : Pembiayaan Musyarakah, Bank Syariah ( xiii + 119 halaman) Bank syariah yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, adapun pembiayaan dengan prinsip bagi hasil terdiri dari musyarakah dan mudharabah. Penulis lebih tertarik pada pembiayaan musyarakah dan risikorisikonya berdasarkan kasus-kasus yang terjadi pada bank syariah khususnya Bank Syariah Mandiri. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dengan jelas produk pembiayaan musyarakah, risiko-risikonya dan memberikan jalan keluar dalam mengatasi risiko pada produk pembiayaan musyarakah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskripsi yang memaparkan tentang produk pembiayaan musyarakah dan membahas risiko-risiko yang dihadapi dalam pemberian pembiayaan musyarakah. Data yang diteliti pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Indikator Perkembangan Industri Perbankan Syariah (2000 – 2005), Komposisi Pembiayaan Perbankan Syariah, dan Komposisi Penggunaan dan Sumber Dana Perbankan Syariah. Adapun teknik pengumpulan data dalam penyusunan tesis ini yaitu penelitian kepustakaan (studi pustaka) dan penelitian lapangan (wawancara dengan orang-orang yang bekerja langsung pada Bank Syariah Mandiri Thamrin guna mengetahui kegiatan pemberian pembiayaan musyarakah di lapangan dan kendala-kendala yang dihadapi dan cara mengatasi kendala tersebut). iv Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Adapun risiko-risiko yang akan dihadapi oleh bank syariah yaitu assymmetric information (bank tidak mengetahui informasi yang sebenarnya mengenai perputaran pembiayaan yang diberikan dan besarnya laba yang dihasilkan dari pembiayaan tersebut) dan moral hazard (adanya penyimpanganpenyimpangan atas pembiayaan yang nasabah terima serta pemberian informasi yang salah kepada bank mengenai usaha yang dijalankan sehingga menguntungkan musyarik dan merugikan bank). Hal ini dapat diatasi dengan jalan menentukan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh nasabah / musyarik sebagai mitra usaha bank syariah. Daftar Pustaka (1983 – 2007)
Daftar Pustaka
-Muhammad. 2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah. Yogyakrta: UII Press.
-Zulkifli, Sunarto. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah.
Dalil Al-Qur’an tentang musyarakah adalah : An-Nisa :12
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)
[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
2. Jenis-jenis musyarakah:
1. Syirkah mufawadah Yaitu kerja sama atau percampuran dana antara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang sama. Syirkah mufawadah mengahruskan :
a. Keidentikan penyertaan modal dari setiap anggota
b. Setiap anggota menjadi wakil atau kafil (guarantor) bagi partner lainnya. Untuk keaktifan semua anggota dalam pengelolaan usaha yang wajib.
c. Pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan atas besarnya modal masing-masing Karena ketatnya syarat-syarat bentuk syirkah ini, mufawadah hanya dapat diterapkan dalam keenam produk usaha diatas kalau semua pihak aktif langsung dalam pengelolaan dan menyertakan dana rasio yang sama
2. Syirkah Al-‘Inan Yaitu kerja sama atau percampuran dana anatara dua pihak atau lebih dengan porsi dana yang tidak mesti sama. Syirkah ‘inan atau limited company mempunyai karakter sebagai berikut:
a. besarnya modal anggota tidak harus sama
b. masih setiap anggota mempunyai hak untuk aktif dalam pengelolaan usaha, ia juga dapat menggugurkan haknya.
c. Pembagian keuntungan dapat didasarkan atas persentase modal masing-masing, tetapi dapat pula atas dasar negosiasi. Hal ini diperkenankan karena adanya kemungkinan tambahan kerja, atau penanggung resiko dari salah satu pihak.
d. Kerugian dan keuntungan sesuai dengan porsi modal. Jadi, syirkah inan merupakan bentuk perkongsian yang paling banyak diterapkan dalam dunia bisnis, hal ini karena sifatnya fleksible. Contoh syirkah ‘Inan : PT. Bank, Koperasi, leasing, join venture, equity participation, special investment, descreasing participation dan letter of kredit.
3. Syirkah wujuh Yaitu kerja sama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkah wujuh dinamakan demikian karena syirkah ini hanya mengandalkan wujuh (wibawah dan nama baik) para anggota, pembagian untung rugi dilakukan secara negosiasi diantara para anggota. Sesuai dengan pengertian diatas, syirkah wujuh dapat diterapkan dalam :
a. suatu kelompok nasabah yang terbentuk dalam suatu perkongsian dan mendapat kepercayaan dari Bank untuk suatu proyek tertentu. Dalam kredit ini pihak debitur tidak menyediakan kolateal atau apapun kecuali wujuh mereka.
b. Suatu perkongsian antara para pedagan yang membeli dengan kredit dan menjual dengan tunai
4. Syirkah ‘abdan Yaitu kerja sama atau percampuran tenaga atau profesionalisme antara dua pihak atau lebih (kerja sama profesi). Contoh perkongsian ini antara lain: - beberapa penjahit yang membuka toko jahit mengerjakan pesanan secara bersama - perkongsian antara insinyur listrik, tukang kayu, piƱata taman, toko bangunan dalam suatu kontrak pembangunan rumah.
5. Syirkah Al-Mudharabah Yaitu kerja sama atu percampuran dana antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki profesionalisme atau tenaga. Dasar Al-Qur’an tentang Mudahrabah: Al Muzammil: 20.
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Al-Jumu’ah:10.
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Al-Baqarah:198
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
3. Rukun-rukun Musyarakah:
a. Para pihak yang berstirkah.
b. Porsi kerjasama.
c. Proyek/usaha (masyru’)
d. Ijab qabul {sighat).
e. Nisbah bagi hasil
4. produk pembiayaan musyarakah dan resikonya Produk Pembiayaan Musyarakah Dan Risiko-Risikonya NPM 91205003 Penulis ISWIYANTI, Agus Sri Pembimbing Budihardjo Suhondo, Drs., MM Tahun Sidang 2007 Call Number 332.1 Isw p Subyek Abstraksi Agus Sri Iswiyanti, 91205003 Produk Pembiayaan Musyarakah Dan Risiko-Risikonya Tesis, Jurusan Perbankan, Universitas Gunadarma, 2007 Kata Kunci : Pembiayaan Musyarakah, Bank Syariah ( xiii + 119 halaman) Bank syariah yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, adapun pembiayaan dengan prinsip bagi hasil terdiri dari musyarakah dan mudharabah. Penulis lebih tertarik pada pembiayaan musyarakah dan risikorisikonya berdasarkan kasus-kasus yang terjadi pada bank syariah khususnya Bank Syariah Mandiri. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dengan jelas produk pembiayaan musyarakah, risiko-risikonya dan memberikan jalan keluar dalam mengatasi risiko pada produk pembiayaan musyarakah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskripsi yang memaparkan tentang produk pembiayaan musyarakah dan membahas risiko-risiko yang dihadapi dalam pemberian pembiayaan musyarakah. Data yang diteliti pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari Indikator Perkembangan Industri Perbankan Syariah (2000 – 2005), Komposisi Pembiayaan Perbankan Syariah, dan Komposisi Penggunaan dan Sumber Dana Perbankan Syariah. Adapun teknik pengumpulan data dalam penyusunan tesis ini yaitu penelitian kepustakaan (studi pustaka) dan penelitian lapangan (wawancara dengan orang-orang yang bekerja langsung pada Bank Syariah Mandiri Thamrin guna mengetahui kegiatan pemberian pembiayaan musyarakah di lapangan dan kendala-kendala yang dihadapi dan cara mengatasi kendala tersebut). iv Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Adapun risiko-risiko yang akan dihadapi oleh bank syariah yaitu assymmetric information (bank tidak mengetahui informasi yang sebenarnya mengenai perputaran pembiayaan yang diberikan dan besarnya laba yang dihasilkan dari pembiayaan tersebut) dan moral hazard (adanya penyimpanganpenyimpangan atas pembiayaan yang nasabah terima serta pemberian informasi yang salah kepada bank mengenai usaha yang dijalankan sehingga menguntungkan musyarik dan merugikan bank). Hal ini dapat diatasi dengan jalan menentukan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh nasabah / musyarik sebagai mitra usaha bank syariah. Daftar Pustaka (1983 – 2007)
Daftar Pustaka
-Muhammad. 2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah. Yogyakrta: UII Press.
-Zulkifli, Sunarto. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah.
Riba
Larangan terhadap pemberian dan pengambilan riba sudah jelas dan tegas dalam Islam. Oleh karena itu semua operasional bank syari’ah harus bebas dan bersih dari riba. Beberapa pemikir islam berpendapat bahwa riba tidak saja dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral tapi juga merupakan seesuatu yang menghambat perkembangan masyarakat. Riba juga akan menimbulkan keadaan dimana yang kaya akan bertambah kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Sebenarnya, larangan terhadap riba tidak terdapat pada islam saja. Para pengikut yahudi dan nasrani juga dilarang untuk melibatkan diri dalam segala unsur riba. Bahkan pada masa dahulu, melakukan riba (memberi dan menerima) dianggap sebagai suatu dosa besar oleh gereja. Praktik riba telah ada sejak dahulu kala. Ditemukan bukti bahwa pada masa kejayaan Sumeria (sekitar 3000-1900 sm) telah tedapat sistem kredit yang sistematik, pada zaman Babylonia (sekitar 1900-732 sm), zaman assyiriah (732-655 sm), neo-babylonia (500-100 sm), Persia (539-33 sm) dll. Selain itu, terdapat pula bukti-bukti yang menunjukan bahwa pinjaman yang diberikan oleh penguasa eropa (raja-raja) pada masa lalu juga berdasarkan atas riba
Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.Sebagian ulama ada yang menyandarkan definisi’ riba’ pada hadits yang diriwayatkan al-Harits bin Usamah Dari Ali bin Abi Thalib, yaitu bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah riba”. Pendapat ini tidak tepat, karena, hadits itu sendiri sanadnya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur ulama tidak menjadikan hadits ini sebagai definisi riba’, karena tidak menyeluruh dan lengkap, disamping itu ada manfaat yang bukan riba’ yaitu jika pemberian tambahan atas hutang tersebut tidak disyaratkan.
Riba memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman: Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. (QS. An-Nisa’ : 160-161) Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS an-Nisaa’ 160-161) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS al-Baqarah 276, 278, 279) Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba’, yang memberi makan, kedua orang saksinya dan pencatatnya.(HR Khmasah) Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmizy. Dan dalam lafadz An-Nasai : Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi makan, kedua saksinya dan penulisnya, apabila mereka tahu hal itu terlaknat atas lisan Muhammad SAW pada hari kiamat. Dari Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyat dari pada 36 wanita pezina. (HR. Ahmad)
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa’.Sedangkan Imam As-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa’ dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi” (Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205). Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan Riba Nasi’ah.
1. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja. Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Di luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.
• Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
• Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
• Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
• Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
• Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
• Garam
4. Riba Nasi’ah Riba Nasi’ah disebut juga riba Jahiliyah. Nasi’ah bersal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contoh : Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
HUKUM RIBA
1. Riba adalah bagian dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :
“Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan”. Para shahabat bertanya,”Apa saja ya Rasulallah?”. “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi).
2. Tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT di dalam Al-Quran, kecuali dosa memakan harta riba. Bahkan sampai Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa dosa riba itu sangat besar dan berat
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.Maka jika kamu tidak mengerjakan , maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat , maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya. (QS. Al-Baqarah : 278-279) 3. As-Sarakhsy berkata bahwa seorang yang makan riba akan mendapatkan lima dosa atau hukuman sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu, Al-Harbu, Al-Kufru dan Al-Khuludu fin-Naar.
• At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya syetan.
• Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan hartanya
• Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
• Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT.Dan dianggap keluar dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya memakannya tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.
Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.Sebagian ulama ada yang menyandarkan definisi’ riba’ pada hadits yang diriwayatkan al-Harits bin Usamah Dari Ali bin Abi Thalib, yaitu bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah riba”. Pendapat ini tidak tepat, karena, hadits itu sendiri sanadnya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur ulama tidak menjadikan hadits ini sebagai definisi riba’, karena tidak menyeluruh dan lengkap, disamping itu ada manfaat yang bukan riba’ yaitu jika pemberian tambahan atas hutang tersebut tidak disyaratkan.
Riba memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman: Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. (QS. An-Nisa’ : 160-161) Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS an-Nisaa’ 160-161) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS al-Baqarah 276, 278, 279) Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba’, yang memberi makan, kedua orang saksinya dan pencatatnya.(HR Khmasah) Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmizy. Dan dalam lafadz An-Nasai : Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi makan, kedua saksinya dan penulisnya, apabila mereka tahu hal itu terlaknat atas lisan Muhammad SAW pada hari kiamat. Dari Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyat dari pada 36 wanita pezina. (HR. Ahmad)
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa’.Sedangkan Imam As-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa’ dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi” (Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205). Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan Riba Nasi’ah.
1. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja. Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Di luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.
• Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
• Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
• Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
• Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
• Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
• Garam
4. Riba Nasi’ah Riba Nasi’ah disebut juga riba Jahiliyah. Nasi’ah bersal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contoh : Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
HUKUM RIBA
1. Riba adalah bagian dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :
“Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan”. Para shahabat bertanya,”Apa saja ya Rasulallah?”. “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi).
2. Tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT di dalam Al-Quran, kecuali dosa memakan harta riba. Bahkan sampai Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa dosa riba itu sangat besar dan berat
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.Maka jika kamu tidak mengerjakan , maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat , maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya. (QS. Al-Baqarah : 278-279) 3. As-Sarakhsy berkata bahwa seorang yang makan riba akan mendapatkan lima dosa atau hukuman sekaligus. Yaitu At-Takhabbut, Al-Mahqu, Al-Harbu, Al-Kufru dan Al-Khuludu fin-Naar.
• At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya syetan.
• Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan hartanya
• Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT
• Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT.Dan dianggap keluar dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya memakannya tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.
Langganan:
Postingan (Atom)